Menziarahi Peradaban Islam di Eropa

Bookmark and Share



Judul Buku: 99 Cahaya Langit di Eropa: Menapak Jejak Islam di Eropa
Penulis: Hanum Salsabiela Rais & Rangga Almahendra
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal: 412 Halaman
Cetakan: November, 2012
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*
Eropa adalah surga dunia. Perlambang kemewahan dan simbol kemajuan zaman terutama pada abad 21. Menelisik tempat-tempat wisata di Eropa adalah hasrat destinasi semua wisatawan. Eropa kemudian adalah Menara Eiffel, Menara Pisa, Colosseum Roma, dan lainnya. Pun, Eropa menyimpan gairah spirit renaisans: kelahiran (kebangkitan) sebuah peradaban. Dan itu semua tentu berhubungan dengan sejarah -onggokan peristiwa masa lampau yang tidak sekadar menjadi dongengan nirmakna. Maka, menelisik sejarah tak ubahnya seperti ziarah. Ada misi pencarian yang lebih bermakna. Hanum Salsabiela, tentunya demikian.
Sedangkan ekskursi hanya sebatas wisata melepas penat. Bersenang-senang tanpa kontribusi reflektif.  Maka, berbeda apa yang disajikan oleh Hanum dan  Rangga Almahendra, suaminya. Ekskursi bukanlah kata tepat. Hanum mengitari dan menjelajahi Eropa. Bukan darmawisata semata. Ada keingintahuan lebih yang coba dicari. Hanum menziarahi kepingan-kepingan sejarah yang terkubur dan terselip di atas narasi kedigdayaan peradaban Eropa. Ia seperti mengatakan Eropa bukan sekadar peradaban yang mandiri dan berdiri serta-merta. Namun, dibangun oleh rangkaian panjang pengaruh serta peranan peradaban lain: Islam.
Hanum menceritakan reportase wisatanya dengan bahasa mengalir serta memberikan banyak informasi penting yang selama ini seperti lenyap dan menyisakan perdebatan tiada usai. Berawal mendampingi sang suami bertugas belajar di Wina, Austria, Hanum tak tahu pasti mau kemana mengisi hari-harinya selama tiga tahun. Namun, ia kemudian bertemu dengan perempuan berjilbab asal Turki, Fatma. Perjumpaan yang menyatukan rasa dan solidaritas kedekatan sebagai sesama muslimah pada kursus Bahasa Jerman.
Keduanya lalu semakin intens menjelajahi sudut-sudut kota dan museum di Wina. Kesamaan ikatan agama memancarkan harapan bahwa Austria bukanlah itu saja. Tapi, masih menyisakan penggalan-penggalan cerita yang terlupa. Kedekatan keduanya yang untuk kemudian mengantarkan pada cita-cita yang lebih dalam: menjelajahi jejak Islam di Eropa.
Menyusuri Eropa seperti menyibak romantisme kejayaan Islam masa silam. Semua menjadi nyata bila memandang Spanyol; bukan eksotisme sepakbola yang menjadi agama atau pesona tarian Flamengo-nya, melainkan Granada dan Cordoba. Dua kota yang menjadi saksi bisu kejayaan Islam. Istana al-Hambra dan Mezquita. Dua bangunan pertanda Islam pernah berkuasa.
 Penziarahan Hanum dimulai dari keterpesonaan pada suara azan di salah satu masjid di Wina. Terasa begitu asing di tengah arus hedonisme masyarakat Eropa. Kemudian berlanjut di Museum Kota Wina (Wien Stadt Museum) yang menyimpan koleksi sebuah lukisan sendu. Lukisan sosok yang digambarkan berpucat pasi dan sebagai penjahat abadi. Lukisan itu membawa Fatma pada penyesalan. Lukisan itu adalah Mustafa Pasha, kakek buyutnya yang berambisi menaklukan Eropa Barat dengan pedang. Sayang, Mustafa gagal, sekonyong-konyong ia luapkan kebengisan itu dengan menebas leher siapa saja. Berabad-abad kemudian, ia dikenal sebagai penjahat. Dan Islam (mungkin saja) selalu diidentikkan dengan pedang, perang, dan berwajah sangar.
Hanum merasakan betul bahwa stigma itu masih ada dan semakin nyata. Sebagai minoritas, adalah kepastian kondisi yang sulit dihindari. Eksistensi itu mewujud pada menjadi pribadi yang santun serta islami. Begitulah Fatma membagi resep padanya. Menjadi agen muslim yang baik dalam bahasa mereka. Jika baik adalah konsep, maka hal itu dijabarkan melalui tindakan kecil dan remeh-temeh namun berkesan: selalu tersenyum dan berkata jujur. Itu saja kuncinya. Itu pula sebagai modal Fatma memutar balik anggapan bahwa wajah Islam tidak seperti laku kakek buyutnya itu. Islam akan lebih diterima dengan urai tawa ketimbang tebasan pedang dan ceceran darah.
Jika Austria menyimpan rasa tragis dan kepiluan tentang agama yang coba disampaikan secara barbar, maka di Perancis tak melulu soal Menara Eiffel dan monumen Arc de Triomphe. Dalam penziarahan selanjutnya, Hanum kemudian berjumpa dengan Marion Latimer, muslimah asli Perancis. Ia berkata telah menemukan Islam di negerinya sendiri. Marion adalah lulusan Universitas Sorbonne yang mengambil Studi Islam Abad Pertengahan. Di sinilah ia mengenal Islam dengan baik kemudian memeluknya.
Di Perancis, Hanum terus menziarahi tapak kejayaan Islam. Marion kemudian mengajaknya ke Museum Louvre. Di sana terpampang jelas bahwa peradaban Eropa tampak jelas diilhami oleh peradaban sebelumnya: Islam. Lukisan Bunda Maria dan bayi Yesus yang masyhur itu, misalnya, ada Pseudo-Kufic –biasanya dibuat oleh nonmuslim yang mencoba meniru inskripsi Arab- yang terpampang di kerudung Bunda Maria. Dan bila diamati lebih lanjut, kata Marion: tulisan itu berbunyi Laa ilaaha illallah.
Pun, tak tertinggal narasi perihal Revolusi Perancis yang digulirkan Napoleon Bonaparte yang berubah menjadi religius sekembalinya dari ekspedisi menaklukan Mesir. Napoleon begitu kagum terhadap Islam dan Muhammad saw. Heboh pula kabar di akhir hayatnya ia memeluk Islam seperti ajudannya, Francois Menou. Lebih lanjut, bangunan yang didirikan di jalanan Paris macam Monumen du Carrousel, Obelisk Luxor, Grande Arche de la D?fence, dan Gereja Notre Dame bila ditarik lurus ke timur hingga sampai melintasi benua ternyata akan menyambung ke Mekkah. Marion menganalisa bahwa itulah maksud tersembunyi Napoleon membangun Axe Historique, sebutan lain dari Voie Triomphale alias Jalan Kemenangan sebagai representasi kereligiusannya.
Penziarahan kemudian berlanjut di Spanyol. Di Cordoba dan Granada adalah pusat peradaban Islam di Eropa. Peradaban Islam menjadi episentrum kemajuan pesat yang melahirkan banyak ilmuwan. Sebut saja Averroës alias Ibnu Rusyd: Bapak Renaisans Eropa.
Sayang, kejatuhan Islam di Spanyol memunculkan luka. Semua yang berbau Islam dibabat habis oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella.  Muslim dan Yahudi dibaptis, dipaksa menenggak alkohol, dan melahap daging babi. Mezquita, masjid besar itu berganti menjadi gereja. Ada luka di hati Hanum ketika mihrab yang tersisa dijeruji besi.
Berlainan ketika penziarahan di Turki. Ada Hagia Sophia; dulu adalah gereja lalu menjadi masjid, dan kemudian beralih fungsi sebagai museum. Keputusan tepat menurut Hanum. Menjadikannya museum adalah win-win solution. Tak ada yang merasa dijajah atau menjajah. Maka, alangkah baiknya bila Mezquita bisa seperti Hagia Sophia.
Apa yang tersaji seperti penaklukan Mustofa Pasha di Austria, pemaksaan agama di Spanyol, daulat gereja yang apatis terhadap ilmu pengetahuan di Abad Pertengahan, serta keserakahan Kekaisaran Ottoman adalah jawaban mengapa laju kaum ateis maupun agnostik semakin cepat di Eropa seperti sekarang ini. Mereka adalah korban trauma di masa silam yang kelam. Mereka kecewa agama ternyata dijadikan kedok penutup untuk berbuat amoral. Apalagi, bila agama harus bersanding dengan negara, agama akan kehilangan substansinya karena hanya diperalat sebagai tameng politik semata. Agama juga dianggap memusuhi sains. Jika dulu agama begitu perkasa menghegemoni wilayah sains, maka, sekarang agama merasakan sebaliknya.
Hanum telah melakukan penziarahan, mengamati, dan menganalisa gerak zaman pada pergantian peradaban. Ada ungkapan menarik Hanum sebagai respons kontemplatif atas penziarahannya: esensi sejarah bukanlah hanya siapa yang menang dan siapa yang kalah. Lebih dari itu: siapa yang lebih cepat belajar dari kemenangan dan kekalahan.
Dari novel ini, kita pun menjadi tahu bahwa antara peradaban Islam dan Eropa pernah saling bertegur sapa. Meskipun kini ada semacam kerenggangan dan gap antar keduanya. Namun, novel ini seperti menjembatani untuk kembali membuka bentangan sejarah yang manis, mesra, kelam, dan pahit untuk sama-sama menjadi pembelajar agar tidak terperosok pada lubang kehancuran yang sama.
*Aktivis di Forum Studi Arab dan Islam (FSAI), Yogyakarta
Editor :
Jodhi Yudono