RZ/DEDEK MS | Foto : skyscrapercity.com | Balee Juang, kini difungsikan sebagai kantor Bappeda Langsa Pedagang makanan dan pedagang mainan anak-anak menyemut di Lapangan Merdeka Kota Langsa, Jumat pekan lalu. Beberapa orang terlihat berkumpul bersama keluarganya di sana. Kondisi seperti ini selalu menghiasi pusat Kota Langsa saban petang.
Langsa merupakan salah satu kotamadya yang ada di Aceh. Dulunya wilayah administratif ini pusat Ibu Kota Aceh Timur.
Kota Langsa berada kurang lebih 400 km dari kota Banda Aceh. Kota ini sebelumnya berstatus Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 1991 tentang Pembentukan Kota Administratif Langsa. Kota Administratif Langsa diangkat statusnya menjadi Kota Langsa berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tanggal 21 Juni 2001, sedangkan hari jadi Kota Langsa ditetapkan pada 17 Oktober 2001.
Pada awal pembentukannya, Kota Langsa terdiri dari tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Langsa Barat, Langsa Kota, dan Langsa Timur. Kemudian, kota ini dimekarkan menjadi lima kecamatan, yaitu Kecamatan Langsa Lama dan Langsa Baro. Pemekaran ini berdasarkan Qanun Kota Langsa No. 5 tahun 2007 tentang pembentukan Kecamatan Langsa Lama dan Langsa Baro.
Konon kata “Langsa” disebut-sebut berawal dari sebuah nama burung elang besar, yaitu “Langsar” akronim dari “Elang Besar”. Landasan nama ini mendorong Wali Kota Langsa, Usman Abdullah hendak mengubah ikon kota dari bambu runcing menjadi lambang elang. Namun, Usman mengakui perlunya rujukan lebih banyak mengenai hal itu.
Ditemui The Atjeh Times pada Rabu pekan lalu, Usman Abdullah menyampaikan niatnya tentang penggalian sejarah Langsa. Dia membentuk tim dan menggandeng dua rektor dari perguruan tinggi di Kota Langsa, yaitu Universitas Samudera Langsa dan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa.
“Selama ini kita tidak mengetahui sejarah, asal-usul nama Langsa, dan dari mana Langsa. Jadi, kita ingin mencari jati diri Langsa dan minimal masyarakat serta anak cucu kita nanti tahu kapan dan di mana Langsa itu pertama kali ada,” ujar dia.
Kata dia, penelusuran sejarah yang telah dilakukan sejauh ini baru berupa penemuan beberapa nisan kuno. Nisan tersebut berada di tambak-tambak milik masyarakat setempat. Namun, belum diketahui nisan itu milik siapa.
“Jika sudah terjawab kuburan-kuburan itu milik siapa, maka akan kita pugar dan kita jadikan monumen sejarah serta situs sejarah Kota Langsa. Dan, setelah kita mengetahui sejarah Langsa, maka akan kita bukukan,” tutur dia.
Penggalan sejarah lainnya mengenai kota ini juga berhasil ditelusuri oleh tim yang dibentuk Usman Abdullah, misalnya tentang asal mula lahirnya Kota Langsa. Tim ini, berdasarkan keterangan dari salah satu keturunan kerajaan Raja Langsa, mengetahui bahwa daerah ini lahir di 1783 Masehi.
“Jika merujuk lahirnya Langsa, maka Langsa merupakan kota tua. Jadi semakin tua berdirinya suatu negara atau daerah, maka akan semakin tinggi budayanya,” kata Usman.
***
Salah satu keturunan Raja Langsa generasi ketujuh, dr. Alwi mengisahkan bahwa Langsa sudah terbentuk pada abad ke-15. Kata dia, pada abad itu datang seorang pangeran dari Pagaruyung, Sumatera Barat ke daerah ini melalui Selat Malaka. Dia berlabuh di daerah Titi Kembar. Saat ini, Titi Kembar berubah menjadi Desa Langsa Lama, Kecamatan Langsa Lama.
Alwi menceritakan, di daerah itu pangeran tersebut membuka hutan belantara menjadi lahan. Saat itulah datang seekor burung elang besar yang terbang berputar-putar di atas lahan baru tersebut.
“Jadi, pertama kali terbentuknya satu daerah di Langsa, yakni di Langsa Lama,” kata dia.
Di sisi lain, kepingan sejarah Kerajaan Langsa juga bisa dibuktikan dengan adanya rumah panggung yang berada di Jalan Cut Nyak Dhien, Gampong Jawa Tengah, Kecamatan Langsa Kota.
Sementara rumah panggung lainnya milik Kerajaan Langsa berada di areal kantor Danramil Langsa Kota. Rumah panggung itu sudah tidak berbekas lagi saat ini.
Menurut penuturan dr. Alwi, wilayah Kerajaan Langsa mulai dari Manyak Payed Kabupaten Aceh Tamiang hingga Sungai Raya Kabupaten Aceh Timur.
Kisah lain sejarah Kota Langsa turut disampaikan Usman (93 tahun) penduduk asli Langsa saat ditemui The Atjeh Times di rumahnya. Kisah yang dimaksud Usman adalah masa transisi pengalihan kekuasaan antara Belanda dan Jepang di Indonesia pada 1942 Masehi.
Saat itu, Usman baru saja menamatkan sekolahnya di Medan. Dia kembali ke Langsa dan melihat adanya gelombang besar pasukan Jepang yang masuk ke Langsa melalui Peureulak. Pasukan Jepang ini menggunakan sepeda. Mereka melakukan konvoi dari Peureulak menuju Langsa dan sebagian lainnya menuju Kota Medan.
Pemerintah militer Jepang saat itu, kata Usman, membentuk pemerintahan sipil yang saat itu bernama Gunsebu, artinya “kantor bupati”. Pendirian kantor ini sekitar bulan Maret 1942 Masehi. Saat ini, Gunsebu tersebut sudah dibuat jadi Kantor PLN Langsa.
“Setelah didirikan pemerintahan sipil itu, saya diberitahukan oleh teman saya bahwa Jepang mencari orang yang bisa berbahasa inggris. Dengan modal keberanian, saya menjumpai Jepang,” kisah dia.
Usman sempat diuji kepiawaiannya berbahasa Inggris. Dia disuruh menerjemahkan buku Daud Beureueh ke dalam bahasa Inggris.
“Setelah saya bisa, maka Jepang menawarkan kepada saya untuk bekerja di pemerintahannya. Sejak itu saya ditanyakan keberadaan Belanda, dan saya bilang masih ada di perkebunan,” tuturnya mengisahkan.
Tiga tahun kemudian, kata Usman, Jepang kalah dan dirinya juga ikut menyerah. Pada 1945 tepatnya, Jepang keluar dari Langsa. Usai Jepang angkat kaki dari Langsa, tak lama kemudian Usman mendengar adanya seruan kemerdekaan Indonesia yang disampaikan oleh Ir. Soekarno.
“Selanjutnya, pada tahun itu saya mendengarkan bahwa telah diumumkan kemerdekaan RI oleh Ir. Soekarno. Akan tetapi, karena tidak ada alat komunikasi, maka satu bulan kemudian saya diberitahukan oleh teman saya yang mendengarkan radio bahwa Indonesia telah merdeka,” kata dia.
Mendengar kabar tersebut, Usman dan beberapa pemuda lainnya mendirikan perkumpulan serta mengibarkan bendera merah putih di bambu runcing. Saat itu, kata Usman, bendera ‘matahari terbit’ masih bertengger di sana.
Ternyata, di Langsa masih ada beberapa Dai Nippon yang tersisa. Usman meminta agar mereka menurunkan bendera tersebut dan menggantikannya dengan bendera merah putih. Pengibaran bendera ini sama sekali tidak mendapat halangan oleh Jepang.
“Tepatnya di bulan September 1945, mereka sadar bahwa mereka sudah kalah dan saya yang dipercayakan untuk menaikkan (mengibarkan) bendera merah putih,” kata Usman.
Pascapengibaran bendera merah putih di Langsa, Usman dan kawan-kawan kemudian dipanggil ke Banda Aceh guna menjumpai pimpinan daerah. Di Banda Aceh, mereka ditanya mengenai kebenaran berita bahwa Indonesia sudah merdeka.
“Kami katakan sudah, serta kami siap mempertanggungjawabkan,” ujarnya.
Setelah mendapat kabar tersebut, Banda Aceh juga turut mengibarkan bendera merah putih. “Jadi untuk di Aceh, yang pertama kali menaikkan (mengibarkan) bendera adalah Langsa,” kata dia.[]