Sekitar 5 tahun yang lalu (De Pers, 2008), Armand Zunder, ekonom Suriname mengajukan tuntutan sebesar 389 milyar euro (hampir 4900 trilyun rupiah) kepada Pemerintah Belanda untuk dibayarkan kepada Negara Suriname sebagai pampasan atau ganti rugi perang.
Dalam perhitungan Zunder, besarnya pampasan perang yang dua kali liat pendapatan nasional tahunan Belanda itu mencakup kerugian sosial ekonomi dari perbudakan dan ekspor gula, kapas, kopi, dan kakao negeri Suriname selama masa penjajahan Belanda di Suriname 1650-1940 yang dikonversikan ke kurs euro sekarang.
Jika Suriname yang luas wilayahnya hampir sama dengan luas Propinsi Kalimantan Tengah dengan jumlah penduduk sekitar 500 ribu jiwa (2012) bisa mengajukan tuntutan sebesar nyaris 5000 trilyun rupiah ke Belanda, bisa dibayangkan berapa besarnya pampasan perang yang bisa dituntut Pemerintah RI ke Kerajaan Belanda.
Tapi sebelum menghitung besarnya pampasan perang, ada satu pertanyaan yang lebih penting: pernahkah Indonesia menuntut hal itu?
Sedikit blusukan di Internet memberikan satu kesimpulan mengecewakan: Alih-alih mendapat ganti rugi perang, Republik Indonesia malah pernah membayar ganti rugi untuk Belanda!
Kemenangan Belanda
Pertama, pada saat Konferensi Meja Bundar (KMB, 23 Agustus- 2 November 1949) disepakati bahwa Indonesia harus membayar kerugian sebesar 4,3 milyar gulden kepada Kerajaan Belanda sebagai akibat tindakan militer Indonesia antara tahun 1945-1949.Selama tahun-tahun berikutnya, Republik Indonesia Serikat di bawah pemerintahan Presiden Soekarno telah melunasi 4 milyar gulden ganti rugi tersebut. Tahun 1956, karena Belanda tidak kunjung menyelesaikan masalah Irian Barat yang masih digantung, Indonesia secara sepihak membatalkan semua hasil KMB termasuk pembayaran sisa ganti rugi tersebut.
Lebih jauh lagi Presiden Soekarno me-nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda antara tahun 1957 dan 1962. Menurut Historischnieuwsblad, di awal masa orde baru, Perjanjian di Den Haag tahun 1966 justru berhasil memaksa delegasi RI yang dipimpin Menteri perekonomian saat itu, Sultan Hamengku Buwono Indonesia untuk mengakui bahwa akibat tindakan nasionalisasi Soekarno, Republik Indonesia harus mengganti rugi sebesar 650 juta gulden dengan cara mencincil sampai dengan tahun 2003.
Kurang ajarnya, Menlu Belanda saat itu, Joseph Luns justru menyebut hal itu sebagai ‘kedermawanan’ atau ‘kemurahatian’ Belanda ke Indonesia karena menurut Luns kerugian Belanda karena nasionalisasi oleh pemerintah Soekarno seharusnya sebesar 4,5 milyar gulden.
Belanda sendiri selain mendapat pampasan perang dan pampasan nasionalisasi dari Indonesia juga mendapat pampasan perang berupa dana Marshall Plan dari Amerika Serikat. Antara tahun 1948 dan 1951 Belanda mendapat dana sebesar 1,1 milyar dollar dari pemerintah Amerika Serikat untuk membangun kembali infrastruktur negeri Belanda yang hancur akibat perang.
Secara total di awal tahun 50-an pemerintah Belanda menikmati pampasan perang sebesar hampir 8,2 milyar gulden yang berasal dari Indonesia (4 milyar gulden) dan Marshal Plan (1,1 milyar dollar = kurang lebih 4,2 milyar gulden).
Ironi Bantuan untuk Tanggul Laut
Pada tahun 2005, Pemerintah Belanda akhirnya mengakui 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Republik Indonesia. Pada kesempatan itu pemerintah Indonesia telah memilih jalur rekonsiliasi: Menlu Hasan Wirajuda menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak akan mengajukan permohononan pampasan atau ganti rugi perang.Jalur rekonsiliasi memang selayaknya ditempuh namun sebagai suatu bangsa yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia sudah selayaknya jika Kerajaan Belanda tidak melupakan kewajiban moral untuk membantu negeri yang pernah menjadi satu sumber kekayaannya.
Bantuan dalam pembangunan infrastruktur misalnya adalah suatu langkah yang bisa ditempuh.
Gubernur Jakarta terdahulu telah mencanangkan rencana membangun tanggul laut raksasa sepanjang 36 km di teluk Jakarta dengan biaya sebesar 5 milyar dollar amerika (Detik Finance, 2012) guna mengatasi masalah banjir pasang yang setiap tahun mengancam Jakarta.
Pada saat yang sama, negeri Belanda merupakan salah satu negara dengan teknologi teknik sipil termaju di dunia. Keahlian Belanda dalam membendung banjir pasang laut tidak lagi diragukan: rangkaian tanggul sepanjang puluhan kilometer pada proyek Delta di Belanda terbukti mampu membebaskan provinsi Zeeland dari banjir pasang.
Rangkaian tanggul dalam Proyek Delta yang dibangun selama 44 tahun (1953 dan 1997) ini tercatat oleh American Society of Civil Engineers (ASCE) sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia modern.
Satu kalimat yang dicatat di batu prasasti salah satu bagian tanggul (Neeltje Jans) :
“Di sinilah pasang laut dikendalikan oleh Bulan, Angin, dan Kita”(Hier gaan over het tij : de maan, de wind en wij)
Harian internet Is Geschiedenis melaporkan bahwa, untuk pembangunan bendungan Teluk Jakarta, pemerintah Belanda dilaporkan juga akan berpartisipasi lewat bantuan tenaga ahli dan bantuan dana sebesar 4 juta euro.
Nilai ini (4 juta euro) besarnya sama dengan 10 unit rumah tinggal baru di pinggiran Amsterdam saja.
Sumber:
- De Pers (http://www.depers.nl/economie/216095/Surinaamse-slavernijclaim-van-379-miljard-euro.htm)
- Wikipedia tentang Suriname (http://en.wikipedia.org/wiki/Suriname)
- Wikipedia tentang Marshall Plan (http://nl.wikipedia.org/wiki/Marshallplan)
- Wikipedia tentang Deltaplan (http://nl.wikipedia.org/wiki/Deltawerken )
- Historischnieuwsblad (http://www.historischnieuwsblad.nl/nl/nieuws/3064/einde-indonesische-herstelbetalingen-aan-nederland.html)
- Detik Finance 2012 (http://finance.detik.com/read/2012/08/30/132722/2003232/4/tembok-laut-raksasa-rp-45-triliun-bakal-dibangun-di-teluk-jakarta)
- Is Geschiedenis (http://www.isgeschiedenis.nl/nieuws/nederlandse_dijk_gaat_jakarta_beschermen/ ) Joko P