Mahluk terakhir yang menyadari arti penting air laut adalah ikan. Menjadi sesuatu yang selalu hadir, tersedia begitu saja, dapat dinikmati tiap saat, memang akan menurunkan nilai penghargaan. Seperti ikan, yang menganggap air laut sebagai sudah seharusnya ada (taken for granted).
Agaknya, sama belaka dengan ratusan juta penduduk nusantara ini. Menganggap bahwa rona alam, bentang lahan, dan iklim hangat khas wilayah tropik, sama sekali bukan keajaiban—karena selalu tersedia tiap saat.
Manusia Indonesia jarang sadar secara sungguh-sungguh. Betapa curah matahari yang cukup, dengan porsi yang selalu bergantian (antara siang dan malam) dalam jumlah yang sama, adalah seperti mimpi untuk orang-orang di Antartika sana. Pun dengan iklim yang “adil”, ada panas, ada dingin —tetapi jauh dari ekstrim. Cuaca ramah seperti itu, bagi mereka yang tinggal di kutub, adalah seperti mimpi. Di mata orang-orang luar, dari dulu hingga kini, Indonesia adalah surga. Atau setidaknya, seperti kata Plato, ribuan tahun lalu, seperti Atlantis, Surga yang hilang…
Sebuah buku, berjudul Atlantis, The Lost Continent Finally Found, hasil riset 30 tahun, dari seorang Fisikawan Nuklir dan Geolog dari Brasil, yaitu Prof. Arsyio Nunes Dos Santos, menyebut bahwa Atlantis (atau surga yang hilang) adalah Indonesia. Menurut bukti-bukti yang disodorkan, Prof Santos tanpa ragu menyebut bahwa hanya Indonesia yang pantas disebut sebagai lokasi Surga (atau Benua) yang hilang itu.
Kalau cuma benua hilang, mungkin tak menarik. Justru yang kontroversial bahwa Benua yang hilang itu adalah (dulunya) berupa sebuah kemaharajaan dunia, kekaisaran internasional, yang menjadi “Ibu dari segala kebudayaan dunia”. Negeri-negeri lain, dan peradaban-peradaban lain, yang selama ini dianggap sebagai “puncak sejarah dunia”, seperti Mesopotamia, Eufrat, Tigris, Mesir, Yunani, China, India, Eropa, hingga ke revolusi industri di Inggris, adalah bersumber dari Indonesia. Buku itupun menyebut, bahwa asal usul manusia moderen (setelah zaman esberakhir), juga berasal dari Indonesia.
Buku Atlantis itu bukan ramalan konyol yang steril bukti ilmiah. Justru diperkaya dengan sederatan dalil, dengan ditunjang oleh analisis multi disiplin ilmu. Pembuktian bahwa Indonesia adalah Atlantis (Benua atau Surga Yang Hilang), bersumber dari fakta-fakta geografis, arkeologis, paleontologist, lingusitik, kitab suci, hingga aneka mitologi dari Yunani, Mesir, Inca, Maya, hingga Aztec.
Atlantis Versi Plato
Awalnya adalah dialog dalam risalah yang ditulis Plato, berjudul Timeausdan Critias. Plato menuturkan bahwa: Atlantis adalah sebuah negara makmur dengan emas, batuan mulia, dengan balatentara gajah. Sebuah kerajaan berukuran benua yang menguasai pelayaran, perdagangan, menguasai ilmu metalurgi, memiliki jaringan irigasi, dengan kehidupan berkesenian, tarian, teater, musik, dan olahraga.
Plato (427 - 347 SM) juga menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa, pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang hilang atau Atlantis.
Mengapa Indonesia? Atau apa argumentasi untuk menunjuk bahwa Indonesia adalah memiliki karakter yang sama persis dengan “tanda-tanda” yang diceritakan Plato? Menurut Prof.Santos, setidaknya bisa ditelusur dari empat aspek.
Pertama, adalah teori difusi (penyebaran) peradaban dalam sejarah perkembangan dunia. Ia menemukan bukti, bahwa di dunia ini terdapat berbagai macam kesamaan, kemiripan, baik dalam asal usul bahasa, kata-kata, cerita-cerita rakyat, mitologi, kisah-kisah dari kitab suci, dan sistem teknologi ataupun pertanian. Menurutnya, tak mungkin kelahiran bahasa dan budaya dunia itu lahir independen,atau muncul sendiri-sendiri. Pasti saling terkait. Secara detil, ia memaparkan kesamaan dalam Mitologi Yunani, Kitab-Kitab Hindu (Rig Weda, Ramayana, Mahabarata),Talmud, Taurat, Perjanjian Lama, hingga dongeng-dongeng dari berbagai bangsa dunia (Mesir, Amerika, dan India).
Lingkaran Bencana
Kedua, teori katastrofisme (atau bencana besar), yang menceritakan adanya “banjir semesta” dan kebakaran semesta (universal conflagration) yang meluluhlantakkan dan menenggelamkan nyaris seluruh ummat dan peradaban manusia. Kandidat satu-satunya yang memiliki bukti bencana tak terperi itu adalah ledakan Krakatau, di patahan Sunda. Secara agak sinis, Prof. Santos mengatakan bahwa Indonesia memang ditakdirkan menelan bencana berulang-ulang, dari zaman prasejarah hingga kini, mengingat letaknya yang berada di “lingkaran sabuk api” (ring of fire). Catatan geologis membuktikan, hanya Krakatauyang sanggup membuncahkan kobaran api dan menyebabkan banjir besar, di sekitar11.600 tahun lalu.
Ketiga, metode matriks uji atas tanda-tanda yang diajukan Plato. Selama ini, dunia saling klaim tentang lokasi Atlantis yang sesungguhnya. Tercatat belasan tempat yang disebut paling layak sebagai situs Atlantis, mulai dari Selat Gibraltar,Bosporus, Sisilia, Mesir, dan tempat-tempat lain. Tetapi, tak satupun memiliki karakter atau ciri sahih, sebagaimana diajukan oleh Guru Aristoteles itu.
Sedikitnya ada empat tanda tentang Atlantis, Surga atau Benua yang hilang versi Plato. Yaitu: (1) Atlantis terletak di selat bersudutsempit, dan ini cocok dengan posisi selat sunda; (2) Atlantis berada di dekatpulau besar, dan selat Sunda terletak di antara Sumatera dan Jawa; (3) Atlantisberada di antara apitan banyak pulau, Selat Sunda dekat berada di hamparanpulau-pulau Indonesia; dan (4) Atlantis diapit dua benua, persis, posisi SelatSunda atau Indonesia berada di dua benua.
Keempat,melakukan negasi atau penyangkalan terhadap tempat-tempat lain yang disebut sebagailokasi Atlantis, seperti Selat Giblartar. Plato menyebut adanya pilar-pilar Hercules (dari istilah hera klai, latin, artinya penyangga dunia), yang merupakan metafora dari pegunungan yang berada di lokasi Atlantis. Nah, tak ada gunung berapi yang menjulang, dan layak disebut penyangga dunia dilokasi-lokasi lain, kecuali Selat Sunda, yaitu Gunung Krakatau.
Jery T