Pendudukan Romawi di Jerusalem
Awal abad ke-3 adalah tahun permulaan pengembaraan kaum Yahudi. Jerusalem berhasil diduduki tentara Romawi. Kaisar Titus bukan hanya meluluhlantakkan Jerusalem dan merobohkan Solomon Temple (Kuil Kedua) yang dibangun oleh Herod (Raja Yahudi keturunan Arab), dulu pembangunan ini pernah dikutuk oleh Nabi Isa. Kemudian pada tahun 320 Kaisar Hadrian berniat melenyapkan kaum Yahudi dari Jerusalem, dan memerintahkan Jendral Severus untuk membunuh semua orang Yahudi. Dikisahkan “Darah orang Yahudi mengalir seperti sungai dan harga budak merosot tajam karena pasar budak dibanjiri oleh orang Yahudi yang diperjualbelikan”. Nama Kota Jerusalem dirubah menjadi Aelia Capitolina yang artinya kurang lebih “Kota Suci untuk Dewi Aelia”. Di atas Bukit Moria didirikan patung kaisar dan kuil untuk berhala Venus, sebagai penghalang Agama Kristen yang mulai tumbuh disitu.
Pada abad ke-4 Raja Konstantin (Pendiri Konstantinopel) memeluk agama Kristen, lalu menjadikan agama itu sebagai agama kekaisaran Romawi. Selanjutnya Jerusalem dikuasai oleh kaum Kristen. Sebagai bentuk penghinaan terhadap kaum Yahudi, bekas reruntuhan Solomon Temple (Kiblat kaum Yahudi dan pernah jadi kiblat Islam) dijadikan tempat pembuangan sampah. Kemudian tempat-tempat yang berhubungan dengan Isa al-Masih diagungkan, didirikan bangunan-bangunan, yang termegah adalah Gereja Holy Sepulchre (Gereja Makam Kudus).
Gereja Holy Sepulchre menjadi tempat paling suci bagi umat Kristen karena diyakini sebagai lokasi Penyaliban Kristus dan Kuburan Yesus. Di tempat Yesus disalib terdapat batu yang retak terbelah tandanya adanya gempa bumi waktu itu ( Mat 7: 21 ).
Perjanjian Aelia
Setelah kekalahan Bizantium dari kaum Muslim, Jerusalem harus diserahkan kepada Khalifah Umar. Khalifah Umar datang sendiri ke Jerusalem untuk memenuhi undangan Patriac Sophronius, penguasa lama, guna melakukan serah terima kota Jerusalem. Selanjutnya dibuatlah sebuah perjanjian yang terkenal dengan “Perjanjian Aelia” yang berisi jaminan Islam untuk kebebasan, keamanan dan kesejahteraan kaum Kristen beserta lembaga-lembaga keagamaan mereka.
Selesai membuat perjanjian, Khalifah Umar hendak melaksanakan shalat, Sophronius mempersilakan Khalifah untuk shalat di dalam Gereja Holy Sepulchre. Khalifah menolak, selanjutnya dia shalat di tangga gerbang timur gereja. Khalifah Umar sempat berkata, “Patriac, tahukah anda mengapa aku tidak mau shalat di gereja anda? Anda akan kehilangan gereja ini karena setelah aku pergi, kaum muslim akan mengambilnya dari anda dan berkata, “Disinilah Umar dahulu pernah melakukan shalat”. Penolakan Khalifah Umar inilah yang selanjutnya menyelamatkan gereja tersebut hingga utuh sampai sekarang.
Pada saat yang sama Khalifah Umar memerintahkan pembersihan bekas reruntuhan Solomon Temple dari sampah-sampah, setelah komplek dan Shakhrah-nya bersih, Khalifah berkata “Demi Dia yang diriku ada ditangan-Nya, inilah tempat yang pernah digambarkan oleh Rosululloh kepada kita. Marilah kita jadikan tempat ini sebagai masjid”
Selanjutnya pada abad ke-12 di jaman Khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan di bekas tempat Khalifah Umar shalat dibangun sebuah kubah besar yang melindunginya, dinamakan Masjid Umar atau Qubbat al-Shakhrah (Dome of the Rock). Dari menaranya yang indah, suara muazzin bercampur dengan nyanyian para Pendeta Kristen di bawahnya, karena letak Masjid Umar persis berseberangan langsung dengan Gereja The Holy Sepulchre.
Qubbat al-Shakhrah tidak dirancang sebagai tempat shalat, maka di sebelah selatannya dibangunlah sebuah masjid yang selanjutnya disebut al-Masjid al-Aqsha oleh Khalifah al-Walid Ibn Abd al-Malik.
Gaya Politik Khalifah Umar yang Liberal
Sebagaimana dituturkan para ahli sejarah Islam seperti Ibn Taymiyyah, “Sampah menggunung di atas Kiblat Yahudi (pernah jadi Klibat Islam juga), sebagai penghinaan kaum Kristen kepada kaum Yahudi. Inilah yang membuat Khalifah Umar marah, kemudian memerintahkan untuk membersihkannya”
Dari peristiwa tersebut tergambar jelas bagaimana sikap Islam kepada agama-agama lain, khususnya agama Ahl al-Kitab seperti Yahudi dan Kristen, yaitu sikap menenggang dan menghargai, sebagaimana termuat dalam Perjanjian Aelia. Bahkan, berbeda dengan penguasa Kristen sebelumnya, penguasa Islam justru mengizinkan kaum Yahudi ikut menghuni kembali Yerusalem. Namun karena kaum Kristen keberatan bercampur dengan Yahudi, akhirnya Khalifah Umar mengambil solusi membagi Yerusalem menjadi sektor-sektor Islam, Yahudi dan Kristen.
Karena politik Khalifah Umar yang “Liberal” inilah maka kaum Kristen Yerusalem sangat senang di bawah kekuasaan Islam, sebab selama ini, di bawah kekuasaan Bizantium, sebagian mereka mengalami penindasan keagamaan, karena sekte mereka tidak diakui oleh Gereja Ortodoks di Konstatinopel. Begitu pula kaum Yahudi, mereka senang, karena setelah ratusan tahun mulai diperbolehkan kembali ke tanah leluhur mereka.
Atas dasar apa Khalifah Umar menempuh gaya politik yang begitu “Liberal” tersebut? Sebenarnya Khalifah Umar hanyalah mencontoh apa yang pernah dilakukan Rosululloh saat membuat “Konstitusi Madinah”. Sebuah konstitusi pertama yang menggambarkan prinsip kebebasan beragama dan menginspirasi teori sosial politik modern.
(Tulisan ini merupakan ringkasan dari esai-esai yang pernah ditulis oleh Dr. Nucholish Madjid)
Mahcmud Yunus