Home »Unlabelled » Menelisik Keputusan Mengejutkan Paus Benediktus XVI
Menelisik Keputusan Mengejutkan Paus Benediktus XVI
Masyarakat dunia pada 11 Februari 2013 seakan terfokus hanya pada satu isu, Paus Benediktus XVI. Tidak ada yang menyangka bahwa pemimpin gereja Katolik dunia ini mengumumkan keputusan yang mengejutkan. Keputusan Benediktus XVI ini merupakan hal langka, sebab langkah tersebut merupakan yang pertama kalinya terjadi dalam kurun waktu hampir 600 tahun terakhir. Paus Gregorius XII juga pernah menyatakan mengundurkan diri, namun hal itu terjadi pada 1415. Paus asal Jerman bernama asli Josef Aloisius Ratzinger yang kini berusia 85 tahun itu mengatakan, ia mulai merasakan beban jabatan yang harus diembannya, "Saya pergi demi kemaslahatan Gereja...," katanya.
Benediktus XVI mengaku bahwa dirinya tidak lagi kuat untuk mengemban tugasnya sebagai pimpinan gereja Katolik. "Untuk alasan dan menyadari atas tindakan ini, dengan kebebasan yang penuh, saya umumkan bahwa saya meninggalkan jabatan saya di Kementerian Uskup Roma, Penerus Santo Petrus," demikian pernyataan Paus dari Vatikan. Benediktus XVI merasa kesehatannya kian menurun dalam beberapa bulan terakhir. Juru bicara Vatikan Federico Lombardi juga sudah mengumumkan bahwa Paus Benediktus XVI akan meninggalkan jabatannya pada 28 Februari 2013.
Paus Benediktus XVI diangkat sebagai uskup agung Munchen pada 1977. Pada tahun yang sama, ia juga diangkat sebagai kardinal. Paus Yohanes Paulus II menghargai Ratzinger sebagai seorang ahli teologi yang cakap. Dan pada tahun 2005 lalu, Ratzinger terpilih menjadi paus menggantikan Yohanes Paulus II. Dengan pengunduran diri Benediktus XVI, Vatikan memasuki masa Sede Vacante (kekosongan tahta). Pada masa ini, Dewan Kardinal akan bertemu setiap hari membahas berbagai urusan terkait administrasi gereja dan persiapan untuk memilih paus baru.
Pengunduran diri paus dari segi politik merupakan sebuah inovasi dan pelanggaran tradisi. Namun dari segi ideologi Katolik, kepausan adalah bukan jabatan publik yang bisa diletakkan oleh seseorang, tapi ia merupakan sebuah posisi spiritual dan pemimpin tahta suci. Dalam teologi Katolik, kepausan merupakan bentuk tanggung jawab dan tugas yang diberikan oleh Tuhan untuk menjadi wakil Kristus di muka bumi. Ketika seorang kardinal diangkat menjadi paus, maka ia telah menjadi wakil Isa al-Masih dan memiliki kedudukan istimewa di tengah umatnya. Oleh karena itu, kepausan merupakan kedudukan seumur hidup dan paus baru akan diangkat setelah pendahulunya meninggal dunia.
Masa kepemimpinan Paus Benediktus XVI diwarnai dengan dinamika pasang surut dan krisis yang mendera Vatikan. Salah satu krisis besar Vatikan di era kepemimpinan Benediktus XVI adalah terbongkarnya kasus pelecehan seksual para pastor terhadap anak-anak (pedofilia). Terciumnya skandal seks sejumlah pejabat teras gereja Katolik terhadap anak-anak dan remaja di berbagai negara, berbuntut krisis serius bagi Vatikan. Kebobrokan moral sejumlah pendeta dan uskup di berbagai negara di antaranya Brazil, Irlandia, Austria dan Jerman memicu kemarahan opini publik terutama para pengikut gereja Katolik.
Kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak dilakukan oleh sejumlah pastor di beberapa negara Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. The Economist melaporkan bahwa skandal itu menjalar cepat melebihi skandal serupa yang menyebar di sekujur Amerika Serikat dalam beberapa tahun belakangan. Perilaku memalukan ini merugikan gereja hingga lebih dari 2 miliar dolar untuk biaya kompensasi korban atas kasus-kasus tersebut.
Sebuah komisi independen di Den Haag, Belanda, pada Desember 2012 mengumumkan hasil investigasi mereka. Menurut hasil penyelidikan itu, puluhan ribu anak jadi korban pelecehan para pastor di Belanda sejak 1945. Setelah memeriksa 1.795 laporan, komisi itu menemukan setidaknya 10.000 hingga 20.000 anak dilecehkan secara seksual di lembaga-lembaga Katolik. Kebanyakan kasus melibatkan pelecehan ringan hingga moderat dan diperkirakan ada beberapa ribu kasus pemerkosaan. Menurut laporan tersebut, terindifikasi 800 orang terlibat dalam kasus pelecehan seksual ini dan kurang lebih 100 orang dari mereka masih aktif di gereja.
Pihak gereja sepertinya sengaja mengabaikan kasus-kasus tersebut. Para pengurus gereja Katolik gagal dalam menangani pelecehan yang terjadi di sekolah-sekolah dan panti asuhan di bawah gereja. Ketua komisi itu, Wim Deetman mengatakan, "Masalah ini sudah lama diketahui, tapi tidak pernah diambil tindakan yang memadai." Tim independen itu mulai melakukan investigasi pada Agustus 2010, menyusul kasus dugaan pelecehan seksual di sebuah sekolah Katolik di Belanda Timur. Kasus tersebut mendorong sejumlah korban lainnya untuk melapor.
Skandal pelecehan seksual di lingkungan gereja sudah menjadi masalah gereja Katolik se-Eropa, bahkan di bumi Amerika. Di Eropa, skandal-skandal seperti itu terungkap di banyak negara, mulai Irlandia, Jerman, Swedia, Swiss hingga Austria. Sebuah penelitian di Swiss juga menunjukkan bahwa ribuan anak di sekolah-sekolah pada dekade 1970 telah menjadi korban pelecehan seksual oleh para pendeta Katolik. Berdasarkan laporan itu, banyak dari siswa di berbagai sekolah di bawah gereja Katolik Swiss telah melakukan bunuh diri akibat pelecehan tersebut.
Menyusul terkuaknya kebobrokan moral gereja Katolik, Paus Benediktus XVI memikul beban berat dan kasus itu selalu menjadi sorotan tajam publik kemanapun ia pergi. Demi mengurangi kritikan dari berbagai pihak, pemimpin Katolik dunia ini biasanya melakukan pertemuan dengan beberapa korban pelecehan dan menghibur mereka dalam setiap kunjungannya. Cara lain untuk meredam protes publik adalah dengan memberi kompensasi kepada para korban pelecehan dan ini tentu saja menguras kas gereja. Namun, langkah itu hanya memiliki dampak kecil terhadap Vatikan. Skandal seks sejumlah pendeta Katolik mengguncang keyakinan para pengikut ajaran ini. Figur yang seharusnya menjadi pembimbing masyarakat menuju kesempurnaan spiritualitas dan ketinggian moral justru melakukan kejahatan hina.
Pendeta yang dikenal sebagai bapak ruhani dan gereja sebagai tempat bernaung umat, telah menjadi sebuah ancaman yang menakutkan bagi masa depan anak-anak. Tentu saja, banyak pendeta yang bersih dan bermoral di lingkungan gereja, namun kasus pelecehan seksual telah mencoreng wajah gereja dan mempertaruhkan kredibilitas para pemimpinnya. Jika kekakuan pemikiran dan kediktatoran pada abad pertengahan telah membuat masyarakat menjauhi agama dan lahirnya mazhab-mazhab humanisme dan liberalisme, maka sekarang kasus-kasus pelecehan seksual akan mendorong umat Katolik meninggalkan gereja mereka.
Di Jerman saja, sekitar 180 ribu orang meninggalkan gereja Katolik menyusul terkuaknya skandal moral para pendeta. Lebih dari 60 persen pemuda Jerman juga menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak tertarik untuk memeluk agama apapun. Gereja Katolik telah kehilangan muka, para pendetanya tidak menunaikan tugas mereka dengan baik dan warga Eropa semakin jauh dari agama. Krisis di gereja Katolik tidak hanya terbatas pada skandal moral para pendeta, tapi ada kasus lain yang turut menyita perhatian publik, yaitu kasus korupsi, perebutan kekuasaan internal, dan intrik di tingkat tertinggi pemerintahan gereja Katolik itu.
Paolo Gabriele, salah satu dari beberapa anggota rumah tangga kepausan, ditangkap pada Mei 2012. Ia dituding turut andil membocorkan sejumlah dokumen kepausan. Skandal yang kerap disebut Vatileaks ini muncul setelah publikasi sebuah buku yang berdasar pada dokumen Vatikan yang bocor, termasuk korespondensi, catatan, dan memo kepada paus dan sekretaris pribadinya. Kasus itu juga diikuti dengan pelengseran, Ettore Gotti Tedeschi petinggi bank yang berafiliasi pada Tahta Suci. Ia diduga terlibat dalam skandal Vatileaks.
Menyangkut masa depan gereja Katolik, para pengamat percaya bahwa paus mendatang juga akan mengadopsi kebijakan konservatif seperti Benediktus XVI. Salah satu tugas berat pemimpin baru gereja Katolik adalah mengakhiri kasus pelecehan seksual dan kasus-kasus penyimpangan moral lainnya serta memulihkan citra Vatikan yang tercoreng. Gereja Katolik membutuhkan sebuah evaluasi komprehensif dalam beberapa ajarannya, yang bahkan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Salah satu dari penyimpangan itu adalah larangan untuk menikah bagi para pendeta Katolik. (IRIB Indonesia)