REZA MUSTAFA | Foto : ATJEHPOSTcom/Heri Juanda | Masjid Teungku di Anjong, Banda Aceh HARI sedang beranjak siang manakala ATJEHPOSTcom berkunjung ke sana. Suasana tetap lengang, walaupun beberapa pekerja sibuk mengecat jendela di atap masjid.
Memasuki pekarangan masjid suasana teduh terasa benar. Sebatang pohon angsana berdiri kokoh meneduhi bagian kiri masjid dari teriknya matahari. Di bawahnya komplek makam berjejer rapi. Salah satunya adalah makam Tengku di Anjong yang bersisian langsung di sebelah kiri masjid.
Di sebelah kanannya, tempat wudhu perempuan dan lelaki terawat bersih, diapit oleh sebuah taman kecil yang ditanami aneka tanaman bunga. Di depannya terdapat dua buah tugu. Satu tugu mengenang tsunami, satunya lagi tugu nama masjid yang di dalamnya terdapat tulisan dalam tiga bahasa (Aceh, Indonesia dan Inggris):
“Meuseujid nyoe geupeudong bak abad XVIII le Sayyid Abu Bakar bin Husein Bafaqih, sidroe ulama dari nanggroe Arab nyang jak ba dakwah Islam rata teumpat. Teungku Dianjong geukira seubagoe ureueng keuramat, lom ngon geuboh lakab Teungku Dianjong.”
Kedua tugu tersebut berdiri berdampingan. Seperti dua penjaga atau guide yang dengan tulisan di atasnya menjelaskan secara singkat tentang keberadaan masjid bagi setiap pengunjungnya.
Masjid yang dindingnya berwarna putih dengan kombinasi genteng dan jendela berwarna hijau adalah salah satu masjid tua yang memiliki nilai sejarah tinggi. Masjid Tengku di Anjong namanya.
Terletak tidak jauh dari pusat kota Banda Aceh, tepatnya di Gampong Peulanggahan Kecamtan Kutaradja, masjid ini telah berdiri sejak abad XVIII. Sayyid Abu Bakar bin Husein Bafaqih yang oleh penduduk setempat dikenal dengan nama Tengku di Anjong adalah tokoh sentral pembangunan masjid ini. Dalam keterangan sejarah, ia merupakan seorang ulama Timur Tengah yang hijrah ke kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1760 – 1791) untuk mengembangkan ajaran Islam.
Rizal, Kepala Urusan Pemerintahan Gampong Peulanggahan, saat ditemui ATJEHPOSTcom di kantor Geuchik yang terletak di sudut kiri pekarangan masjid, menuturkan bahwa menurut cerita turun temurun, Tengku di Anjong merupakan saudagar berbangsa Arab yang pada mulanya berkunjung ke Aceh untuk berdagang. “Ada beberapa versi cerita tentang awal mula kedatangan Tengku di Anjong ke sini. Ada yang menyebutkan beliau datang khusus untuk berdakwah, tapi ada juga yang mengatakan untuk berdagang sambil berdakwah,” kata Rizal.
Ketika ditanya tentang sejarah masjid secara mendalam, Rizal hanya memberikan dua lembar file catatan tentangnya. “Tidak ada tulisan khusus tentang sejarah masjid ini. Kalaupun ada, itu masih minim sekali. Ini contohnya,” katanya sambil menyodorkan file yang dimaksud.
Dalam file tersebut diterangkan, Masjid Tengku di Anjong pertama sekali didirikan di atas pondasi yang berdenah bujur sangkar dengan ukuran 14,80 x 9,20 m dengan tinggi 16 meter. Selain itu terdapat juga ruang berukuran 166 x 166 centimeter dan tingginya 177 centimeter, yang digunakan sebagai mihrab yaitu tempat imam memimpin shalat berjama’ah.
Sesuai dengan keterangan dari file catatannya juga, masjid ini telah mengalami pemugaran pada tahun 1990 yang dibiayai oleh Pemerintah Kota Banda Aceh. Karena perluasan pembangunan baru pada sisi dindingnya menyimpang dari bentuk semula akhirnya pembangunan tersebut akhirnya dihentikan.
“Sebelum tsunami melanda, masjid ini telah dipugar beberapa kali. Bahkan beberapa hari sebelum datangnya tsunami, masjid ini sedang dalam perbaikan-perbaikan,” kata Rizal. “Setelah tsunami datang, masjid ini hanya tinggal 30% saja. Itu adalah pondasi mihrabnya saja. Sedangkan bangunannya yang terbuat dari kayu semuanya hancur. Kemudian masjid ini dibangun kembali seperti yang terlihat sekarang ini.”
Sementara dalam catatan keterangan yang ada dijelaskan pemugaran masjid Tengku di Anjong setelah bencana tsunami telah banyak merubah bentuk asli bangunan masjid itu. Sayangnya, dalam keterangan tersebut tidak diketahui bentuk asli mana saja yang telah berubah dari masjid itu. Rizal, tidak bisa memberikan keterangan yang jelas ketika ATJEHPOSTcom menanyakan tentang masalah ini. Ia hanya menjelaskan bahwa bangunan sekarang berdiri di atas pondasi lama, dan pondasi mihrab yang tinggal setelah tsunami masih dipertahankan sebagaimana mulanya.
Dia menceritakan masjid Tengku di Anjong, sebagaimana yang tertera dalam catatan, pernah menjadi tempat “bersumpah” Teuku Umar ketika memihak pada Belanda di masa penjajahan. Masjid ini, kata dia, pernah juga menjadi tempat persinggahan para jama’ah haji untuk menunggu keberangkatan mereka ke tanah suci. “Pada masa persinggahan inilah banyak jama’ah haji yang bermanasik di masjid ini dan mengaji pada Tengku di Anjong,” kata Rizal mengutip.
Lebih lanjut ia mengungkapkan masjid Tengku di Anjong memiliki tanah wakaf. “Hampir 70 persen Gampong Peulanggahan adalah tanah wakaf masjid. Bahkan di Keuniree Kabupaten Pidie juga terdapat masjid dengan nama yang sama dan memiliki tanah wakafnya juga, masjid itu juga berhubungan dengan masjid Tengku di Anjong di sini,” kata Rizal.
Seorang warga Gampong Peulanggahan yang tidak mau namanya ditulis membenarkan tanah wakaf tersebut.
“Saya warga yang hidup lama di sini dan salah satu yang selamat dari tsunami. Peulanggahan sebagian besarnya adalah tanah wakaf masjid. Semua yang lahir dan besar di sini saya kira tahu, walau pun ada juga di antaranya yang tidak mau mengakui,” katanya.
Tentang kegiatan masjid sekarang, dia mengatakan tiap Sabtu malam dan Rabu malam, ada pengajian bagi warga setempat, di samping ada juga pengajian bagi ibu-ibu warga Peulanggahan di siang hari. []