Tujuannya, untuk membantu penyelenggaraan siaran pemancar tersebut bersama-sama tenaga yang telah ada.
SAAT perangkat pemancar Radio Rimba Raya dibawa dari Cot Gue, Aceh Besar, ke Aceh Tengah pada 20 Desember 1948, Komandan Angkatan Perang Divisi X TNI, Kolonel Husein Yoesoef memiliterisasi dua orang wartawan. Tujuannya, untuk membantu penyelenggaraan siaran pemancar tersebut bersama-sama tenaga yang telah ada.
Hari itu juga Kolonel Husein Yoesoef lewat surat penetapan Nomor DX/309/AP/48, mengangkat T. Alibasjah Talsya dan Abddullah Arif menjadi Letnan II TNI.
Letda Talsya bertugas pada Komando Penerangan Divisi untuk menghimpun dan menyusun berita.
Sementara Letnan II Abdullah Arif meneruskannya kepada pemancar di Ronga-ronga dan bertugas di Ronga-ronga, mengelola radio rimba raya tersebut.
Talsya merupakan sastrawan Aceh yang pada masa peperangan aktif dalam dunia jurnalistik. Sejak 1942, Talsya menjadi redaktur surat kabar Atjeh Sinbun (1942-1945) bersama-sama dengan A. Gani Mutyara, dan Abdullah Arif, yang dipimpin oleh A. Hasjmy.
Sebelum menjadi Anggota TNI Divisi X Komandemen Sumatera dengan pangkat Letnan II, Talsya juga sudak aktif berjuang dalam Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang kemudian berubah nama menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) dengan jabatan Sekretaris Pertama Dewan Penerangan Markas Daerah Aceh.
Saat itu Belanda melancarkan agresi militer kedua. Hilversum, radio milik Belanda membuat pengumuman kepada dunia, Republik Indonesia telah jatuh. Indonesia sudah tidak ada lagi. Dunia sempat tercengang, sempat percaya. Tapi itu tak lama. Belanda luput.
Seperti dituliskan T.A. Talsya dalam bukunya Modal Perjuangan Kemerdekaan, dari sebuah gunung di dataran tinggi Aceh, Radio Rimba Raya mengudara.
Dengan daya pancar satu kilowatt dan bekerja pada frekuensi 19,25 dan 61 meter, Radio Rimba Raya membuka siaran: “Suara Radio Republik Indonesia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.
Para penyiarnya adalah W. Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M. Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf, dan Agus Sam.
Siaran yang mengabarkan Indonesia masih ada itu sampai juga ke telinga penduduk di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa. mendengarkan siarannya. Indonesia selamat dari propaganda Belanda.[]
Hari itu juga Kolonel Husein Yoesoef lewat surat penetapan Nomor DX/309/AP/48, mengangkat T. Alibasjah Talsya dan Abddullah Arif menjadi Letnan II TNI.
Letda Talsya bertugas pada Komando Penerangan Divisi untuk menghimpun dan menyusun berita.
Sementara Letnan II Abdullah Arif meneruskannya kepada pemancar di Ronga-ronga dan bertugas di Ronga-ronga, mengelola radio rimba raya tersebut.
Talsya merupakan sastrawan Aceh yang pada masa peperangan aktif dalam dunia jurnalistik. Sejak 1942, Talsya menjadi redaktur surat kabar Atjeh Sinbun (1942-1945) bersama-sama dengan A. Gani Mutyara, dan Abdullah Arif, yang dipimpin oleh A. Hasjmy.
Sebelum menjadi Anggota TNI Divisi X Komandemen Sumatera dengan pangkat Letnan II, Talsya juga sudak aktif berjuang dalam Barisan Pemuda Indonesia (BPI) yang kemudian berubah nama menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI) dengan jabatan Sekretaris Pertama Dewan Penerangan Markas Daerah Aceh.
Saat itu Belanda melancarkan agresi militer kedua. Hilversum, radio milik Belanda membuat pengumuman kepada dunia, Republik Indonesia telah jatuh. Indonesia sudah tidak ada lagi. Dunia sempat tercengang, sempat percaya. Tapi itu tak lama. Belanda luput.
Seperti dituliskan T.A. Talsya dalam bukunya Modal Perjuangan Kemerdekaan, dari sebuah gunung di dataran tinggi Aceh, Radio Rimba Raya mengudara.
Dengan daya pancar satu kilowatt dan bekerja pada frekuensi 19,25 dan 61 meter, Radio Rimba Raya membuka siaran: “Suara Radio Republik Indonesia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.
Para penyiarnya adalah W. Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M. Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf, dan Agus Sam.
Siaran yang mengabarkan Indonesia masih ada itu sampai juga ke telinga penduduk di Semenanjung Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa. mendengarkan siarannya. Indonesia selamat dari propaganda Belanda.[]