Pernah baca kutipan atau ringkasan ini!? Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota, Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam.
Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula, seluruh pasukkan TNI mundur.
Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran – Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
== = = =Ya, … anda mungkin tak perlu membuka linknya, namun sudah tahu bahwa potongan kisah di atas merupakan tuturan heroik yang terjadi pada 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Ketika itu, pasukan TNI bersama laskar rakyat dari berbagai suku (terutama para pelajar dan mahasiswa yang sekolah dan belajar di Jogya, sejak era penjajahan Belanda dan Jepang) dan elemen melakukan serangan terhadap Belanda yang menguasai Jogya. Serangan tersebut, juga secara politik/is ingin menyampaikan ke dunia Internasional, bahwa RI masih ada, punya kekuatan, dan seluruh rakyata Indonesia sertta tentara tetap menyatu untuk mempertahankan kemerdekaan.
Ya, … Serangan Oemoem Satoe Maret 1949, bukan melalulu perang yang dilakukan oleh Tentara Indonesia terhadap bala tentara Kolonial Belanda yang ada di Jogya, namun juga pertempuran - rakyat yang bertempur melawan mereka yang mau menjajah ulang bangsa Indonesia.
Memang tentara yang melakukan penyerangan dan pertempuran tersebut di bawah pimpinan beberapa perwira terlatih [Letkol Ventje Sumual, Mayor Sarjono, Mayor Kusno, Letnan Amir Murtono dan Letnan Marsudi], akan tetapi, di samping itu, sebetulnya ada ribuan orang dari para laskar (rakyat bersenjata apa adanya, dan bambu runcing) yang ikut menyerang atau bertempur.
Jadi ingat, ke awal tahun 80an, pada satu pertemuan di Bandung, sebagai mahasiswa yang ada/hadir pada temu kangen para veteran yang ikut bertempur di Jogya. Tuturan mereka membuka mata yang mendengar; dan juga menyadarkan (yang mendengar) bahwa peritiwa Jogya pada masa lalu, aslinya rakyat - laskar dibantu tentara atau tentara dibantu rakyat untuk melawan Belanda.
Sayangnya, menurut tuturan para veteran tersebut, (pelajaran) sejarah atau catatan sejarah di negeri ini, tak ada yang menjelaskan dengan panjang lebar. Misalnya peran Laskar Hyzbullah (pada masa itu, merupakan kelaskaran yang paling banyak anggotanya dan sangat militan) yang sangat besar, serta paling banyak menjadi korban; Laskar Kris, dari Minahasa; Laskar Sunda Kecil, yang didominasi etnis Timor, Sabu, Rote; Laskar Bali, dan lain sebagainya; bahkan ada peran para lurah serta kepala dusun di Jogya serta wilayah sekitarnya.
Ini ada sepenggal kisah dari para laskar dan tentara dari Sunda Kecil (Bali, NTB, NTT); menurut tuturan para veteran Serangan Umum 1 Maret, IR Lobo (Alm), J N Johannes (Alm), H Johannes (Alm); Peter Rohi (tinggal di Jakarta). Dalam pertempuran Jogja (sebelum 1 Maret 1949, SU 1 Maret, dan setelah 1 Maret 1949) ada Batalyon Paradja yang didirikan IR Lobo (beliau juga adalah pendiri Kantor Doane atau sekarang Ditjen Bea Cukari, Dep/Kem Kuangan RI). Batalyon ini masuk dalam resimen Sunda Kecil yang dipimpin Ngurah Rai. Para perwiranya adalah Prof. Dr Ir. Herman Johannes, Frans Seda, Amos Pah, El Tari, Is Tibuludji. Batalion ini memiliki tiga kompi, masing-masing dipimpin Kapten Hendrik Rade, Kapten J. Moi Hia, dan Letnan Benyamin Lihoe. Dua kompi yang pertama disebut kompie berani mati. Hal itu dapat dibuktikan dalam pertempuran di Wates walau kompi ini sudah terjepit, mereka tidak mau menyerah. Maka gugurlah Kapten Hendrik Rade dan wakilnya Letnan Jermias Henuhili, dan seorang perwira dari Larantuka, Floress, Letnan Fernandes. Mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Jogjakarta.
El Tari (yang kemudin menjadi Gubernur NTT sejak 1968 - 1978) tertembak pangkal pahanya dan hanya bisa selamat karena Prajurit Hawoe Dima nekad masuk di antara desingan peluru untuk menggotong tubuh El Tari keluar dari medan pertempuran yang sekejap berubah menjadi naraka bagi para pejuang.
Sekali lagi, sayangnya, sejarah dan catatan sejarah (main stream, yang diajarkan ke peserta didik) hanya tipis atau satu dua kalimat dan/atau satu dua alinea, mengenai peran para laskar di/dalam atau pada waktu Serangan Oemoem Satoe Maret 1949 tersebut; tak lebih dari itu.
Opa Jappy