Ada banyak analisis yang dilakukan para ahli untuk menjelaskan motivasi dan sisi gelap (dark side) kepribadian Adolf Hitler (20 April 1889 – 30 April 1945) sehingga sampai membantai tanpa dosa 6 juta orang Yahudi. Mircea Windham menulis dalam bukunya, “Iblis-Iblis Wanita Hitler” (2010) antara lain sebagai berikut: teori pertama, trauma penyakit sipilis yang diderita Hitler. Ihwal sipilis ini berasal dari pengakuan seorang serdadu sipil Nazi, Eugen Wasner, yang diperiksa karena dianggap menyebarkan fitnah terhadap Hitler di baraknya, pertengahan 1943. Wasner mengaku teman sekelas Hitler di Leonding, Austria.
“Adolf impoten karena sipilis”, kata Wasner. Akibatnya pernyataannya itu, Wasner dijatuhi hukuman mati. Kisah Wasner muncul pertama kali dalam memoar Dietrich Gustrow, yang terbit pada 1981 dengan judul “Totlicher Alltag” (Rutinitas Mati). Kala itu Gustrow bertugas sebagai pembela dalam sidang Wasner. Gosip atas kondisi kelamin Hitler berkembang lebih jauh, bahkan dinyatakan, ia hanya memiliki satu buah zakar. Menurut teori Simon Wiesental, kondisi genital Adolf Hitler dianggap sebagai penyebab antisemitisme, karena sipilis yang dideritanya berasal dari seorang wanita pelacur Yahudi. Dari sinilah sentimen ras ini berkembang.
Teori kedua mengatakan, kepribadian Hitler dipengaruhi oleh serangkaian trauma. Pada tahun 1907, ketika ia berusia 18 tahun, ibunya meninggal karena serangan kanker. Ia kecewa dengan dokter Yahudi yang gagal menyelamatkan nyawa ibunya. Menurut Rudolp Binion, seorang sejarawan dari Brandeis, Hitler merepresi kemarahannya. Ini yang jadi cikal-bakal antisemitismenya.
Teori ketiga, berdasarkan analisa psikoanalisis, diantaranya dipaparkan oleh Robert Waite: “Antisemitisme Hitler dipicu oleh kenyataan bahwa ayahnya sendiri, Alois Hitler, ternyata berdarah Yahudi. Manakala dikaitkan dengan pengakuan Eugen Wasner, boleh jadi kebencian Hitler kepada bangsa Yahudi makin memuncak. Ia merasa teracuni darah Yahudi. Analisis ini berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Erich Fromm (23-03-1900-18-03-1980) dalam bukunya, “The Anatomy of Human Destructiveness” (1973). Justru cintanya kepada ibunya yang meninggal akibat kanker itulah yang menjadi sumber penyimpangan kepribadian Hitler. Menurut Fromm, Hitler menderita “necrophilia”, yakni mencintai mayat dan hal-hal yang berbau kematian.
Teori keempat, beberapa sejarawan, termasuk Alan Bullock (13 Desember 1914 – 2 Februari 2004), percaya bahwa antisemitisme Hitler disebabkan oleh obsesi seksual antisemitisme. Sejarawan Robert Waite merujuk periode setelah kematian ibunya, Klara Hitler (1908-1913). Kematian Klara menyebabkan runtuhnya pula ambisi Hitler untuk mendalami seni. Ia terpuruk di penampungan kaum tunawisma di Vienna. Di saat itulah ia terpikat ilustrasi pornografi dalam publikasi Ostara yang penuh obsesi antisemitisme, dengan kisah-kisah lelaki Yahudi yang dengan penuh nafsu mengumbar seks untuk mencemari perawan-perawan Arya. Editornya adalah seorang Arya dengan nama mistis, Lanz von Liebenfels.
Pengaruh Ostara itu konon tercermin dalam buku Hitler, “Mein Kampf” (Perjuanganku), yang memperlihatkan histeri seksual. “Dengan kenikmatan setan diwajahnya, Yahudi berambut hitam itu mengintai perawan-perawan Arya dan siap mencemari dengan darahnya”, demikian tulis Hitler.
Teori kelima adalah hipnoterapi. Pada tahun 1913, Hitler meninggalkan Vienna menuju Munich. Pada Agustus 1914, Perang Dunia I pecah. Ia bergabung dengan resimen Bavaria Jerman. Seperti yang ditulisnya dalam “Mein Kampf”, di medan pertempuran itu ia terkena gas beracun yang menyebabkan matanya mengalami kebutaan. Tahun 1918, melalui perawatan hipnotis Dr. Edmund Forster, ia sembuh. Dengan hipnotisnya, Dr. Forster memompa semangat nasionalismenya. Bahwa kesembuhannya sangat berarti bagi Jerman. Sejak itu, ia mentransformasi kemampuan hipnotis untuk menguasai masa.
Faktor-faktor eksternal seperti sipilis, pengaruh Ostara, atau pendekatan psikoanalisis Erich Fromm, masih dominan untuk memahami Hitler. Namun, bagi Milton Himmelfarb (21 Oktober 1918 – 4 Januari 2006), teori eksternal ini seakan menghiraukan Hitler sebagai pribadi. Seolah-olah Adolf Hitler hanyalah produk diluar dirinya. “Tidak ada Hitler, tidak akan ada Holocaust!” kata Himmelfarb. Pendekatan pada antisemitisme Kristen tradisional tidaklah cukup. “Hitler membantai orang Yahudi bukan karena ia harus melakukannya. Bukan karena didikte kekuatan historis yang abstrak. Tapi karena ia menginginkannya”, ujar Himmelfarb.
Emil Fackenheim (1916-2003), seorang teolog ahli Holocaust memperkuat dugaan Himmelfarb. Bagi Fackenheim, Hitler tak lebih dari seorang opportunis, yang tidak percaya pada apapun kecuali pada ambisinya sendiri. Dan mengambil manfaat isu antisemitisme yang telah berakar dalam masyarakat Jerman.
“Hitler adalah seorang aktor. Ia gila sanjungan. Ia ingin selalu dielu-elukan. Lihat saja perkawinannya dengan Eva Braun. Dilakukan sesaat sebelum ia bunuh diri. Untuk apa itu kalau bukan sekadar satu pertunjukan. Saya pikir ia tidak tahu lagi batas antara bersandiwara dan bersungguh-sungguh”, kata Fackenheim.
Memang mengejutkan apabila tuduhan Fackenheim benar. Enam juta orang Yahudi terbantai gara-gara seorang aktor. Alasan antisemitisme Hitler hanyalah sebuah trik (tipuan) seorang aktor. Menurut Fackenheim, tidak ada faktor-faktor patologi, melainkan murni pembunuh berdarah dingin. “Hitler adalah sosok setan yang radikal !” katanya.
Lalu apakah hanya Hitler yang mampu berbuat jahat/kejam ? Banyak pakar psikologi, terutama psikoanalisis klasik (seperti Freud, McDougall, Lorenz), beranggapan bahwa hakikat setiap manusia itu adalah buruk, liar, kejam, kelam, non-etis, egois, sarat nafsu, dan berkiblat pada kenikmatan jasmani. Sebagaimana pengalaman fisiologis rasa lapar, haus, atau bangkitnya dorongan seksual, maka dapat dibuktikan bahwa manusia mempunyai naluri bawaan atau dorongan dasar untuk berperilaku agresif.
Sigmund Freud (Kowara, 1991) menyatakan bahwa selain diri manusia memuat naluri kehidupan (life instincts), juga terdapat apa yang disebut naluri kematian atau “Thanatos” (kadang-kadang Freud menyebutnya naluri merusak), yang ditujukan kepada perusakan atau penghancuran atas apa yang telah ada (organisme atau individu itu sendiri). Freud mengajukan gagasan mengenai naluri kematian ini berdasarkan fakta yang ditemukan bahwa tujuan semua makhluk hidup atau organisme adalah kembali kepada keadaan anorganis. Atau, meminjam pernyataan Schopenhauer, tujuan dari seluruh kehidupan adalah kematian. Freud menambahkan bahwa adanya dua jenis naluri yang bertolak belakang ini relevan dengan dua proses pada taraf biologis dari setiap organisme, yakni proses pembentukan (construction) dan proses penghancuran (destruction). Contoh proses pada taraf biologis ini adalah proses anabolisme dan proses katabolisme dalam sel-sel setiap organisme.
Freud selanjutnya menyatakan bahwa naluri kematian itu pada individu bisa ditujukan kepada dua arah, yakni kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain atau ke luar diri. Naluri kematian yang diarahkan kepada diri sendiri tampil dalam tindakan bunuh diri atau tindakan “masokhis” (tindakan menyakiti diri sendiri), sedangkan naluri kematian yang diarahkan ke luar atau kepada orang lain menyatakan diri dalam bentuk tindakan membunuh, menganiaya atau menghancurkan orang lain. Sehubungan dengan naluri kematian ini Freud percaya, bahwa pada setiap orang, di alam tak sadarnya, terdapat keinginan untuk mati, sebuah keinginan yang selalu direpres sekuatnya oleh ego. Dan percobaan atau tindakan bunuh diri bisa terjadi apabila represi ego ini melemah.