Ada kejadian menarik baru-baru ini yang cukup mengemuka, bahkan di berbagai jejaring sosial di internet. Tentang mahasiswa yang membuat DPR remuk redam dengan muka yang merah padam dipermalukan mahasiswa. Lagi-lagi itu terjadi di Jerman (26/4) seperti dilansir PPI Jerman di website perkumpulan mahasiswa yang bernaung di sana. Buku yang bercerita tentang perlawanan seorang figur Sri Bintang Pamungkas: Menantang Seorang Diktator.
Di Hannover, pada 1995, pernah terjadi satu aksi besar yang disebut-sebut membuat seorang B.J Habibie menjadi sangat malu. Ilmuwan yang disebut-sebut sebagai salah satu pendiri Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, sekaligus pernah menjadi Menristek dan Presiden RI ke-3 itu mendapat pukulan telak oleh aksi mahasiswa Indonesia di kota itu.
Hanya, dibanding dengan aksi yang ’sekadar’ walk out pada jelang akhir April kemarin yang dilakukan PPI Jerman, dengan yang terjadi di Hannover terdapat latar belakang yang cukup jauh, memang. Maksudnya, pada 1995, yang dilakukan mahasiswa berbarengan dengan aksi Amnesty International itu lebih karena catatan HAM di bawah rezim Soeharto—kemudian justru dijadikan bahan untuk menjerat Sri Bintang, tokoh yang tidak sukses dengan Partai Uni Demokrasi Indonesia-nya.
Sedang aksi mahasiswa di bawah PPI Jerman pada April ini di Jerman, karena sudut pandang bahwa ada kejanggalan akut pada perjalanan dinas Komisi I DPR RI. Sasaran bidikan juga berbeda, karena aksi 1995 cenderung ke ‘muka’ Soeharto sendiri sebagai “sang maharaja”.
Pun, desakan mahasiswa di payung PPI Jerman berkisar pada 3 point (mengutip website organisasi tsb):
- Transparansi dari setiap anggota DPR RI mengenai agenda kunjungan ke luar negeri beserta biaya yang akan dikeluarkan. Informasi tersebut harus dipublikasikan paling lambat 1 bulan sebelum keberangkatan.
- Melaporkan hasil kunjungan tersebut kepada rakyat melalui website DPR RI dan media massa.
- Pengertian Ibu Bapak wakil rakyat untuk tidak menghamburkan uang rakyat dengan terbang ribuan kilometer untuk Rapat Dengar Pendapat dengan KBRI dan KJRI. Hal ini bisa dilakukan lewat tele-konferens, atau ketika pejabat-pejabat KBRI dan KJRI berada di Jakarta.
Kembali ke aksi 1995 (Di Hannover demonstrasi terjadi ketika pembukaan Hannover Fair, tanggal 1 April pada tahun tersebut: Forum Keadilan, 11/5/1995), di tengah beringasnya Soeharto yang terbilang sangat anti-kritik, mahasiswa-mahasiswa di sana—berdasar cerita Sri Bintang Pamungkas—pampangkan demikian banyak poster, misal; berisi kalimat Servants of the Western Multinationals dengan latar belakang gambar Jenderal Bintang Lima itu sendiri. Juga disisipi yang mengarah ke persoalan Timor Timur seperti spanduk: Indonesia, Kapan Pulang dari Timor Timur? Selain juga yang memuat dukungan untuk Republik Maluku Selatan, Aceh Merdeka, dan Papua Merdeka.
Tak kurang, seniman-seniman lukis juga berekspresi, meski sekadar menggelar pameran di kantin, seperti dilakukan Yayak Yatmaka yang pernah merekam kasus Kedung Ombo dalam lukisannya (yang terakhir lumayan sering kontak dengan saya pribadi).
Menariknya, aksi-aksi yang terbilang sporadis di Jerman kala itu juga mendapat dukungan bahkan dari kalangan pejabat, seperti wali kota Hannover, Herbert Schmalstieg. Sang Wali kota, karena ketidaksenangannya atas rapor buruk Soeharto, bahkan menolak untuk bersanding dengan Soeharto jika berkunjung ke sana–yang memang dijadwalkan demikian untuk membuka acara Hannover Fair.
Atas berbagai aksi saat itu, beberapa nama masuk list yang harus berhadapan dengan aparat hukum di Indonesia. Mereka bahkan sempat harus merasakan dinginnya hotel prodeo. Kasum ABRI, Letjen Soeyono, kemudian menyebut tiga nama seperti Sri Bintang Pamungkas, Goenawan Mohamad, dan Yeni Rosa Damayanti, sebagai orang yang disangka terlibat dalam aksi unjuk rasa di Jerman itu (sumber: Forum Keadilan, 1995). Syukurlah, setelah Soeharto lepas dari tahtanya, rakyat lebih leluasa berekspresi, ya seperti yang juga sudah dilakukan mahasiswa dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia di Jerman itu.Zulfikar Akbar