Peran Romo van Lith, SJ dalam Perjuangan Kebangkitan Bangsa Indonesia

Bookmark and Share


Pada tanggal 28-29 Desember 2003 saya mendapat tugas dari Majalah Utusan untuk meliput kegiatan Reuni Keluarga Besar Mantan Murid-murid Sekolah Katolik Muntilan Tahun 1904-1942-1945-2003. Saat itu saya sungguh merasa bersyukur karena diperbolehkan untuk berjumpa secara langsung dengan para mantan murid-murid Romo van Lith yang memulai karya pendidikan di Muntilan. Banyak di antara mereka telah memegang jabatan penting di Republik ini, salah satunya adalah Bapak Frans Seda. Saya gembira karena boleh berada dekat dengan orang-orang ‘besar’ itu. Namun dibalik itu semua saya merasa terinspirasi dengan semangat yang mendasari perjuangan Romo van Lith dalam merintis karya pendidikan bagi kaum pribumi. Semangat itu tampak dihayati, dimiliki dan dijunjung tinggi oleh para mantan murid Romo van Lith itu. Semangat dan nilai luhur yang diperjuangkan oleh Romo van Lith dan masih didengung-dengungkan oleh mereka antara lain: rasa toleransi, disiplin pribadi, kejujuran, kesederhanaan, pengabdian tanpa pamrih, nasionalisme,dsb. Nilai-nilai ini tidak saja hanya didengung-dengungkan namun telah menjadi semangat dasar dari setiap perjuangan para mantan murid itu di negeri ini. Hal ini tampak dari peran mereka dalam masyarakat yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak pahlawan kemerdekaan Indonesia lahir dari pendidikan yang dirintis oleh Romo van Lith di Muntilan ini.


Peran Sekolah Muntilan dalam perjuangan Kebangkitan Bangsa Indonesia ini tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Ini tampak dalam alur sejarah Misi berkaitan dengan Perjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang sejalan. Tampak jelas bahwa misi Romo van Lith adalah mendidik para pemuda pribumi dalam memperjuangkan martabat manusia yang di dalamnya termasuk memperjuangkan kesejajaran antar manusia serta membebaskan manusia dari segala bentuk penjajahan. Perjuangan misi Romo van Lith ini ditempuh melalui pendekatan kepada tokoh-tokoh kunci orang Jawa dengan memahami dan mencoba menyelami kebudayaan Jawa. Berdasarkan itu semua langkah yang ditempuh oleh Romo van Lith adalah dengan mendidik kader-kader militan yang kiranya dapat diharapkan mereka akan menyinarkan pengaruh di tempat mereka berkarya. Untuk membentuk kader militan, Romo van Lith telah memilih sarana yang jitu, yaitu dengan mendirikan sekolah guru dan menyelenggarakan pendidikan lain yang berkualitas seperti antara lain: HIS, HCS, HIK, NS, Schakel School, dan Ambacht School. Semua bentuk pendidikan ini dilakukan dengan model asrama. Adapun Garis besar kronologi pendidikan di Muntilan adalah sebagai berikut:


1. Tahun 1897: Romo van Lith, SJ tiba di Muntilan. (RIP 1926 di Muntilan).



2. Tahun 1904: Oleh beliau didirikan Kweekschool dengan asrama


3. Tahun 1908: Di Mendut didirikan sekolah dengan asrama untuk gadis-gadis Jawa yang dikelola oleh para suster Fransiskanes dari Heythuisen.


4. 18 Agustus 1911: Kweekschool Muntilan resmi mendapat Pelindung dan bernama St. Franciscus Xaverius College.


5. Tahun 1915: Didirikan HIS (Hollands Inlandse School) dengan murid 293 anak SD.


6. Tahun 1916: siswa Kweekschool menjadi 326. Seluruh siswa Kweekschool dan HIS berjumlah : 600, Katolik: 500.



7. Tahun 1917: Dibuka HCS (Hollands Chinese School)


8. Tahun 1918: Didirikan Yayasan Kanisius


9. Tahun 1920: Mingguan Jawa terbit: SWARA TAMA


10. Tahun 1921: Bruder O.O (Onbevlekte Ontvangenis) (FIC) diserahi HIS


11. Tahun 1936: Seminari Agung berdiri



12. Tahun 1934: Muncul pahlawan-pahlawan kemerdekaan dari sekolah Muntilan seperti: Mgr. A. Soegijapranata, SJ,Yos Sudarso, Agustinus Adisucipto, FX. Suhadji dan juga pahlawan Misi di Indonesia.


13. Tahun 1942: Jepang menyerbu Hindia Belanda. Hindia Belanda menyerah. Dalam Perang Dunia II Jepang memakai gedung-gedung misi Muntilan untuk interniran (tawanan) Belanda, Anak dan ibu-ibunya. Selama tahun 1942-1947 Indonesia kehilangan 74 imam, 47 bruder, 160 suster meninggal dalam tawanan.


14. Tahun 1945: Zaman RI Muntilan mulai dirintis oleh Romo Speekle, Dieben, Djoyoatmojo, Hardoparmoko (semuanya Jesuit), para suster, bruder (ada Belanda ada pribumi), para guru awam dan aktivis bapak ibu.


15. Tahun 1948: Gedung misi dihancurkan oleh kelompok anti agama Katolik. Romo Sanjaya dan Fr. Bouwens menjadi martir.



16. Tahun 1949-1959: dimulai SGB Xaverius, Tahun 1959-1965: SGA Xaverius; 1965-1990: SPG Van Lith dan 1991-sampai sekarang: SMU PL Van Lith.


Dalam menjalankan kiprah pendidikannya ini, para murid dari Romo van Lith ini gigih berjuang bagi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Ini tampak dalam keterlibatan beberapa alumninya dalam percaturan politik Hindia Belanda maupun Republik Indonesia. Murid-murid tersebut adalah: I.J. Kasimo diangkat menjadi anggota Volksraad (DPR) pada tahun (1931-1935), (1935-1939), (1939-1943). Hal ini muncul dari semangat Romo Van Lith dalam memperjuangkan kemerdekaan suatu bangsa tertentu dengan budaya yang otentik pula. Dengan tegas ia memihak pada kaum pribumi yang berada dalam posisi terjajah. Kerinduannya yang terutama adalah kemerdekaan manusia sebagai manusia yang bermartabat. Dengan demikian segala bentuk kolonialisme yang terjadi di atas muka bumi ini harus dihapuskan termasuk jika yang melakukannya adalah bangsanya sendiri, bangsa Belanda, ataupun agama yang dianutnya, yakni Katolik. Nilai-nilai Kristiani tidak ditampakkan hanya dalam membaptis orang namun lebih pada perjuangan untuk menjadi bangsa yang bebas, mandiri dan menjunjung tinggi harkat manusia yang sama di antara sesamanya.


Setelah berselang kurang lebih 4 tahun, saya disadarkan kembali pada kenangan ini dengan munculnya film Betlehem van Java dengan tokoh sentralnya Romo van Lith. Melalui film itu saya mulai mengenali lagi beberapa semangat yang dulu pernah saya dengar saat Reuni Akbar lulusan Sekolah Muntilan itu. Meski saya sadar bahwa film itu masih begitu minim dalam memotret perjuangan Misi Romo van Lith dalam menyebarkan benih-benih Kekatolikan di tanah Jawa, namun paling tidak kemasan audio visual tersebut mulai menjadi jembatan antara generasi awal dengan generasi saat ini sebagai salah satu sarana pewarisan semangat.


Satu hal yang dapat saya garisbawahi dari dua peristiwa perjumpaan saya dengan semangat Romo van Lith ini yakni perjuangan demi kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan menjadi dasar dan wujud dari perjuangan iman Katolik Romo van Lith di tengah tanah Misi Jawa. Pilihan sikap pastoral yang tepat yakni melalui jalur pendidikan kiranya menjadi hal yang patut dilestarikan. Perjuangan iman Katolik tidak terlepas dari perjuangan kemerdekaan manusia universal dari segala bentuk penindasan oleh kekuasaan manusia yang tersembunyi dalam jahatnya politik. Dengan demikian, mempertanggungjawabkan iman juga berarti memperjuangkan kemerdekaan suatu bangsa dari segala bentuk penjajahan. Di sinilah sebenarnya inti misi dari Romo van Lith beserta para muridnya hingga kini. Rentetan data sejarah yang mulai tergelar itu kiranya menjadi sebuah kisah yang harus terus menerus dirangkai oleh para penerusnya. Hal ini pulalah yang selalu menjadi semangat dari para alumnus Sekolah Muntilan hingga saat ini: Api Van Lith Pantang Padam! Pro Ecclesia et Patria, et Omnibus Hominibus et Gentibus. Ad Maiorem Dei Gloriam.


1337762417498182944


Yohanes Ari Purnomo