Ekspedisi Sir Thomas Stamford Raffles ke Minangkabau, 1818
Sejak ditempatkan di Penang oleh East India Company (EIC) Sir Thomas Stamford Raffles merasakan kecintaan kian membesar terhadap kebudayaan Melayu yang menurutnya sedang mengalami kemerosotan karena pengaruh buruk monopoli Belanda. Oleh sebab itulah Raffles berusaha keras mempertahankan pengaruh Inggris atas dunia Melayu. Puncak dari upayanya ini adalah pembentukan koloni Inggris di Singapura guna memastikan agar Inggris berperan besar di Selat Malaka. Di samping itu, setahun sebelumnya, Raffles menempuh langkah penuh semangat yang belum pernah pernah ada di Sumatra, yakni ekspedisi ke dataran tinggi Minangkabau. Bersama Lady Raffles, disertai seorang naturalis bernama Thomas Horsfield dan serombongan staf, Raffles berlayar meninggalkan Bengkulu menuju Padang pada awal Juli 1818. Catatan perjalanan ini dikirimkan Raffles kepada Duchess of Somerset, peindungnya, dalam sepucuk surat panjang pada September 1818.
Dalam catatan yang detail itu Raffles mengemukakan banyak hal yang belum diketahui pada saat itu. Walaupun keberadaan Kerajaan Sriwijaya belum diketahui pada masa itu, Raffles yakin bahwa Melayu, seperti halnya Jawa, sedang mengalami kemerosotan dari suatu peradaban kuno yang gemilang—dan dia bertekad mencari peradaban tersebut. Tentu saja ini sama sekali bukan pekerjaan mudah karena, kata Raffles, “Orang Melayu selalu berang atas banyaknya spekulasi yang mengungkapkan bahwa bahasa mereka sedang mengalami kemunduran, tetapi di mana kami harus mencari sejarah mereka? Kesusastraan mereka jarang membahas era sebelum Islam masuk, kecuali tulisan tentang Bahtera Nuh dan kisah-kisah asmara, dan kami hampir tidak bisa mengumpulkan informasi apa-apa tentang sejarah mereka dari kisah-kisah tersebut.”
Kendati demikian, perjalanan rombongan Raffles menemukan banyak hal menarik yang bisa kita pelajari. Ketika sampai di Desa Luhak Kubuang Tigo Beleh (Luhak Kubung Tiga Belas, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Salayo, Kabupaten Solok) Raffles menyatakan bahwa daerah itu selalu terkenal dengan hasil emasnya, bahkan bagi orang Eropa desa itu dikenal sebagai desa emas. Boleh jadi ini terkait dengan sejarah perjalanan utusan kerajaan Pagaruyung yang berjumlah 13 orang ke arah selatan menuju Batusangkar, Solok, Alahan Panjang, Muaralabuh, menyusuri Pesisir Selatan. Keturunan kerajaan Pagaruyung masih bisa dijumpai di Muara Labuh, salah satunya adalah Daulat Yang Dipertuan Alam Serambi Pauh Duo, pemangku jabatan raja Kerajaan Sungai Pagu. Diperkirakan hingga tahun 1818 di kawasan tersebut ada 1200 lokasi tambang emas yang sudah dieksploitasi. Tambang-tambang itu tersebar dari Danau Singkarak hingga Pesisir Selatan. Boleh jadi 13 orang utusan tersebut di atas melaksanakan misi mencari emas, mengingat nagari-nagari yang mereka bangun merupakan lokasi tambang emas. Sehingga wajar jika muncul wacana bahwa Pagaruyung banyak mempunyai harta emas.
Industri manufaktur Minangkabau juga sudah maju, sejak dagulu daerah ini terkenal dengan produksi kerisnya. Produksi besi tempa sudah ada sejak zaman dahulu kala. Industri tembikar berskala besar yang terdapat di sepanjang tepi danau tidak hanya memenuhi kebutuhan daerah Padang, tetapi juga dikirim hingga Bengkulu. Mesin-mesin pemintal banyak dijumpai Raffles di rumah-rumah penduduk di daerah yang dia singgahi.
Pertanian di kawasan itu juga lebih maju dari yang banyak diduga, di sana sudah dikenal persawahan dan sistem ladang berpindah sudah ditinggalkan. Lebih jauh, Raffles mengatakan, “Kincir air lazim digunakan di Minangkabau, dan dapat dianggap sebagai kemajuan dalam bercocok tanam yang bahkan belum dicapai oleh Jawa, padahal Jawa memiliki hubungan dengan Cina sejak lama. Mengingat bangsa Eropa dan Cina belum pernah menginjakkan kaki di tanah Minangkabau, dan selama berabad-abad penduduk pribumi Minangkabau hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang lain, kincir air itu bisa dianggap sebagai penemuan asli pribumi setempat. Seingat saya, saya tidak pernah melihat kincir air atau sejenisnya di Jawa.” Lereng-lereng bukit yang tidak bisa dijadikan sawah terasering dimanfaatkan untuk budi daya tebu. Perkebunan tebu di sana tergolong besar, dan di kawasan sekitarnya lazim dibangun penggilingan tebu untuk diolah menjadi gula pasir.
Sepanjang perjalanan Raffles menjumpai daerah yang menurut dugaannya pernah mengalami bencana dahsyat di masa lalu. Ketika menyusuri bukit-bukit rendah Pagaruyung dia menjumpai banyak sekali fosil. Nampaknya seluruh hutan di situ pernah terkubur oleh goncangan katastropik hebat pada masa lampau. Secara khusus Raffles memperhatikan tunggul dan batang pohon yang mengalami pemfosilan. Menariknya, tunggul dan batang pohon itu mencuat keluar dari kedalaman tanah. Selepas daerah Suruaso rombongan Raffkes menjumpai beberapa kolam kecil, menurut cerita di sekitar lokasi itu dulunya banyak bangunan tua yang terkubur. Satu-satunya ditemukan adalah semacam arca yang terdapat di dalam empat batu yang tidak diragukan lagi adalah gerbang masuk kota di masa lalu. Memasuki Kota Pagaruyung rombongan menemukan lokasi yang dahulunya merupakan tempat berdirinya istana. Di tengah reruntuhan, ditemukan batu datar besar tempat Sultan Pagaruyung duduk menghadiri upacara. Saat rerumputan liar disingkirkan ditemukanlah istana yang terkubur. Tidak ditemukan prasasti di tempat, barangkali karena rombongan tergesa-gesa dan baru sempat memeriksa sebagian saja. Tetapi di situ ditemukan arca peninggalan Islam zaman dulu untuk mengenang mereka yang sudah meninggal. Di persinggahan berikutnya Raffles menemukan dua prasasti, arca-arca Hindu mirip yang ditemukan di Jawa. Di Simawang, Raffles menemukan prasasti dalam huruf Kawi ketika mengumpulkan sampel mineral di tepi danau. Sayangnya tulisan di prasasti itu hampir pudar karena terus-menerus dikikis air kucuran danau.
Kayanya Jawa akan peninggalan kesusastraan dan seni kuno adiluhung dalam puisi, reruntuhan, candi, arca, prasasti menyebabkan orang menganggap bahwa di pulau itulah seni dan pengetahuan Nusantara bermula. Konon, kata Raffles, bangsa Melayu sebenarnya berasal dari Jawa, karena kata “Melayu” dalam bahasa Jawa berarti pelarian. Bagi Raffles, pernyataan ini merendahkan bangsa Melayu.
Yang menarik untuk dicatat terkait dengan mitigasi bencana, nampaknya kerajaan Pagaruyung lekat dengan kisah air bah tsunami. Di Solaya terdapat kompleks pemakaman yang bentuknya unik, kebanyakan makamnya berlantai panggung. Di kedua ujung makam dibangun semacam tempat duduk yang menumpuk satu sama lain, menyerupai bentuk buritan kapal. Menurut masyarakat setempat, sebagaimana dikemukakan Rafles, makam-makam tersebut dibangun untuk mengenang orang-orang yang meninggal jauh dari kota. Raffles juga menyatakan kekaguman pada rumah yang dia singgahi di kaki bukit Simawang. Rumah itu konstruksinya sangat kokoh, ditopang tiga kayu kokoh bak tiang kapal. Dinding di bawah atap berbentuk segitiga dibangun menjulang ke atas dalam beberapa lapis menyerupai buritan kapal. Ujung balai yang atapnya menjulang ke atas dalam beberapa lapisan layaknya
Ir. M. Anwar Syadat (Asisten Stafsus SKP BSB)