Sumpah Pemuda telah diikrarkan sejak 83 tahun yang lalu. Saat itu para pemuda saling mempersatukan diri dibawah Panji Indonesia. Mereka mengakui berbahasa, berbangsa dan bertanah air satu, yakni bahasa Indonesia, bangsa Indonesia, dan tanah air Indonesia. Peristiwa ini dapat disebut sebagai embrio kemerdekaan bangsa Indonesia yang terlahir 15 tahun sesudah ikrar itu dikumandangkan. Sumpah Pemuda tahun 1928 dianggap sebagai munculnya gerakan nasionalisme awal bangsa Indonesia. Akan tetapi apakah nilai-nilai nasionalisme bangsa ini baru muncul sejak peristiwa itu ataukah telah muncul sebelumnya? Untuk menelusuri jejak nasionalisme bangsa ini, kiranya sosok seorang Pastor pribumi sekaligus Uskup pertama pribumi di tanah Indonesia yakni Mgr. A. Soegijapranata, SJ patut dikemukakan. Untuk membantu menilik kembali siapakah Mgr. A. Soegijapranata, SJ serta kiprahnya dalam perjuangan nasionalisme Indonesia, kiranya menarik untuk mencermati Biographi beliau yang berjudul Soegija: Si Anak Betlehem van Java karangan Rm. G. Budi Subanar, SJ. Dalam kata sambutan di awal Biographi tersebut, Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo, Pr menulis bahwa Mgr. A. Soegijapranata, SJ adalah seorang tokoh nasional dan mendapat kehormatan sebagai Pahlawan Nasional[1].
Soegija: Seorang Katolik Nasionalis
Kiprah Mgr. A. Soegijapranata, SJ dalam perjuangan kemerdekaan Nasional Indonesia memang tidak seheroik dan se-terkenal tokoh-tokoh nasionalis lainnya semacam pemuda-pemuda yang mengikrarkan Sumpah Pemuda maupun kaum muda terpelajar macam Soekarno, Hatta, Syahrir dan teman-temannya. Ini dikarenakan Mgr. Soegijapranata, SJ adalah seorang Katolik, lebih-lebih beliau adalah seorang pastor. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, Katolik identik dengan agama kolonialis Belanda. Agama Katolik adalah agama bangsa penjajah yakni Belanda dan setiap orang Jawa (Indonesia) yang menganut agama itu pun bisa jadi bukan seorang nasionalis sejati. Dapat dipastikan bahwa seorang yang menganut agama Katolik akan melupakan akar budaya Jawa dan mulai hidup dengan orientasi Eropa. Hal ini pulalah yang ditakutkan oleh orang tua Soegija kecil ketika menyadari bahwa putranya memutuskan untuk menuntut ilmu di asrama Muntilan yang diajar oleh Romo-romo Belanda[2].
Mungkin untuk sebagian orang Jawa yang lain memang demikian namun tidak untuk Soegija. Ia memutuskan untuk menuntut ilmu di Muntilan tidak untuk menjadi kemlondo-londo, tetapi sungguh tetap berakar pada budaya Jawa. Ia justru ingin menunjukkan identitas ke-Jawaannya dengan menghayati falsafah Jawa-nya yang telah ditanamkan sejak kecil oleh keluarganya dengan mencari keluhuran budi melalui studi. Pilihannya untuk melanjutkan studi ke Muntilan pun didorong oleh semangat mencari kesejatian hidup yang telah diwariskan oleh ayah dan ibunya. Menurutnya, sekolah di Muntilan itu dapat membantunya dalam menggapai kesejatian hidup yang menjadi cita-citanya. Tak terbersit satu keinginan pun untuk menjadi seorang priyayi londo, seperti yang terjadi pada kebanyakan orang Jawa yang bersekolah di sekolah-sekolah Belanda. Prinsip ini pulalah yang dipegangnya ketika akhirnya ia memutuskan untuk menerima iman Katolik. Ia memutuskan untuk menerima baptisan bukan karena ingin menjadi seperti Belanda namun tumbuh dari keyakinan dasarnya sebagai orang Jawa dalam menemukan dan memeluk kebenaran sejati. Meski akhirnya ia merasa menemukan ajaran yang sejati tentang Tuhan dan hidup ini dalam diri dan perjuangan kasih para romo Belanda, bangsa penjajah, itu adalah soal lain. Hal ini kemudian disadarinya setelah sekian tahun bergulat dengan panggilannya sebagai seorang Katolik Jawa sekaligus seorang calon imam. Ia merenungkan tentang kecenderungan orang Jawa yangnggebyah uyah, memukul rata, mengambil kesimpulan pada umumnya bahwa setiap orang Belanda itu Kristen dan seorang Jawa yang menganut Kristen itu pengkhianat bangsa[3]. Keberaniannya untuk ‘berpikir dan bersikap lain’ dari pemikiran umum orang Jawa inilah awal dari perjuangannya sebagai seorang Katolik sekaligus Nasionalis. Dalam permenungannya itu tergambar jelas bahwa ia hendak mengatakan Katolik tidak identik dengan Belanda. Ia menjadi seorang Katolik namun tetap Jawa.
Sikap ini pulalah yang mendasari perjuangan beliau untuk turut memperjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia melalui pemikiran-pemikiran serta karya-karya beliau di tengah umat Katolik Jawa. Latar belakang pengalaman Perang Dunia I dan kebijakan Pemimpin Tertinggi umat Katolik saat itu, Paus Benedictus XV tentang perlunya putra-putri daerah untuk melanjutkan karya misi turut membentuk pilihan sikap Mgr. Soegijapranata, SJ dalam berjuang menegakkan nasionalisme Indonesia. Tak lupa pula latar belakang pendidikan filsafat dan Teologi di negeri Belanda turut memperteguh perjuangan beliau. Empat bulan sebelum Sumpah Pemuda diikrarkan, beliau menuliskan pemikirannya tentang Nasionalisme dalam Majalah Swaratama edisi No. 27/VIII,29 Juli 1928: “Secara sederhana dirumuskan, setiap bangsa harus berkembang dengan pemerintahannya sendiri. Adalah mudah bagi suatu pemerintahan untuk mengatur suatu bangsa yang homogen daripada mengatur bangsa yang beragam dan heterogen. Keberadaan bangsa dan negara didasarkan pada hukum kodrat. Sebelum suatu bangsa dipersatukan dalam pemerintahan sebuah negara, bangsa tersebut sudah dipersatukan oleh karakternya, kebiasaan-kebiasaannya, cita-citanya, bahasa, dan asal-usulnya”[4].
Menjadi Nasionalis sebagai Wujud Panggilan Kristiani
Pengangkatan Mgr. A. Soegijapranata, SJ sebagai Vikariat Apostolik Semarang (Uskup Pribumi) sempat memunculkan pertanyaan: mungkinkah seorang putra pribumi dari Jawa diajukan dalam usulan itu mengingat suasana pada saat itu di dalam situasi dimana imam dan Vikariat Apostolik Batavia sebagian besar masih merupakan orang-orang Belanda. Apakah terbayang bahwa orang-orang Belanda akan datang dan mencium cincin yang dikenakan oleh seorang uskup pribumi?[5] Meski banyak pertanyaan muncul namun pengangkatan ini merupakan keputusan yang tepat dari pihak Tahta Suci mengingat masa depan Gereja Lokal lebih penting daripada sekedar mempersoalkan masalah identitas kebangsaan. Panggilan untuk mewartakan Injil ke segala penjuru bumi tidak terbatas pada persoalan kolonialisme politis tertentu. Justru nilai-nilai Injili itu harus mengakar pada kebudayaan setempat dan menjadi milik masyarakat lokal. Dengan demikian, menjadi nasionalis adalah wujud panggilan Kristiani. Segala bentuk kolonialisme dan penjajahan dianggap tidak selaras dengan panggilan sebagai seorang Kristiani. Pada titik ini perjuangan Mgr.A. Soegijapranata, SJ dalam menegakkan cinta kasih Kristiani yang ia warisi dari Romo-romo pembimbingnya sejak di Muntilan hingga menjalani formatio sebagai anggota Serikat Jesus menjadi dasar dari semangat nasionalisme beliau. Nasionalisme yang sejati adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang di dalam Kristianitas, nilai-nilai itu menjadi wujud panggilan. Itulah inti keutamaan hidup yang terus bergema dalam diri Mgr. A. Soegijapranata, SJ. Inti hidup dan kebenaran yang telah menjadi cita-cita pengembaraannya sejak belia.