Punya Peran Besar, Nama Aceh Jarang Disebut oleh Orang Melayu

Bookmark and Share


Siapa menyangka ternyata kemelayuan Malaysia masih dipertanyakan. Padahal Malaysia merupakan salah satu bangsa yang sejak dulu sudah mengklaim dirinya sebagai Melayu.


Dalam undang-undang mereka pun dibatasi identitas Melayu hanya bagi orang yang lahir di Malaysia pada tahun tertentu dan dapat berbahasa Melayu. Oleh karena itu, oang India dan Pakistan pun dapat mengklaim dirinya Melayu jika sudah lahir sejak tahun 1950 dan lancar berbahasa Melayu.



“Jadi, di Malaysia itu belum jelas identitas mereka apa. Melayunya pun masih dipertanyakan. Saya pernah bertemu dengan orang Pakistan di Malaysia tetapi ia mengaku dirinya Melayu, karena sudah lahir sejak lama di sana dan lancar berbahasa Melayu,” kata Antropolog Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad.



Hal itu disampaikan Kamaruzzaman dalam diskusi publik yang digelar oleh Bandar Publishing kerja sama dengan ICAIOS, Selasa, 8 Mei 2012, sore. Menurut penulis buku “Acehnologi” ini, Aceh memiliki peran besar dalam sejarah peradaban bangsa Melayu. Namun, nama Aceh jarang disebut-sebut oleh orang-orang Melayu, termasuk yang di Malaysia.



Menyikapi itu, Akademisi Unsyiah, Prof. Darwis A. Sulaiman, mengatakan kurangnya tersebut nama Aceh masa itu karena orang Aceh masih jarang menulis buku untuk bisa jadi referensi orang lain.




“Aceh saat masa perang tidak banyak menghasilkan tulisan sebagai rujukan. Makanya Aceh jarang tersebut,” ujarnya yang juga mengakui Aceh punya peran besar dalam sejarah Melayu.



Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Dr. Taqwaddin, yang juga hadir dalam diskusi tersebut, mengatakan, perlu lahir peneliti dari Aceh untuk menegaskan kembali sejarah peradaban Aceh.



“Banyak sekali benda-benda kebudayaan di Aceh juga terdapat di Malaysia. Misalnya, langai. Langai di Aceh sama seperti yang ada di Malaysia. Di Malaysia juga ada kampung Aceh,” ujarnya.

Seorang mahasiswa asal Malaysia yang saat ini sedang studi di Banda Aceh juga membenarkan bahwa nama Aceh jarang muncul dalam buku-buku rujukan di Malaysia.


“Melayu di Malaysia memang sedang krisis identitas. Nyatanya, tak jelas melayu itu apa. Saat mengisi borang (formulir-ed), kami ditanyai Melayu mana atau Melayu apa. Ketika saya belajar di SMA dan SMP di Malaysia, bahkan di saat D3, saya tidak mengenal Aceh, tapi kata Melayu disebut-sebut pada buku-buku bacaan kami,” kata mahasiswi itu dengan dialek Malaysianya yang kental.[]