Selama ini kita mengenal gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebagai tempat untuk mengadili tokoh yang dituduh terlibat G30S PKI. Di gedung inilah pada 1966 Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) menyidangkan tokoh PKI Nyono, selain Menteri Luar Negeri (Menlu) Subandrio dan Panglima AURI Laksamana Omar Dhani.
Namun, tak banyak orang tahu, gedung Bappenas dulu bekas lodge (loji) perkumpulan freemason atau rumah peribadatan para anggota freemason. Freemason tak lain adalah organisasi sekuler dunia yang mengajarkan sebuah filosofi baru dalam kehidupan yang memisahkan berbagai sektor kehidupan dengan agama. Organisasi ini identik dengan Yahudi dan Zionis.
Kompasianers, kisah gedung Bappenas ini dimulai pada 1925. Saat itu F.J.L.Ghijsels, seorang insinyur kelahiran Tulung Agung, Jawa Timur, membangun gedung yang berlokasi di depan Taman Suropati ini. Selain Bappenas, Ghijsels juga sempat membangun gedung yang kini menjadi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat. Selain itu juga sejumlah gedung megah di Kalibesar Timur dan Kalibesar Barat, Jakarta Kota.
Pada masa kolonial, Bappenas menjadi tempat pertemuan anggota tertinggi vrijmesdclarij atau dalam bahasa Inggris freemason. Saat itu nama gedung ini masih Adhucstat, yang tulisan ini terdapat di atas gedung. Dalam buku karya Henry Nurdi berjudul Jejak Freemason & Zionis di Indonesia, nama Adhucstat berarti ‘Berdiri Hingga Kini’. Sementara di kanan-kirinya gedung terdapat dua lambang vrijmedsclarij yang jika disambung dengan garis akan membentuk ‘Bintang David’ lambang dan simbol suci kaum Yahudi.
Tentang Yahudi, di masa Hinda Belanda (sebutan untuk Jakarta tempo dulu) memang penuh dengan orang-orang Yahudi. Penduduk Yahudi– sejak masa VOC memang sudah tersebar dimana-mana. Beberapa wilayah yang menjadi pusatnya seperti Noordwijk (kini Jalan Juanda) dan Rijswijk (Jl Veteran) terdapat sejumlah toko besar milik etnis ini seperti Oleslaeger,Goldenberg, dan Ezekiel. Bahkan, menurut budayawan Ridwan Saidi, kawasan Laan Hole (kini Jl Sabang) dahulu terdapat sebuah hotel milik seorang Yahudi.
Sebuah situs Komunitas Yahudi dunia mencatat, bahwa pada 1850 seorang utusan dari Jerusalem, Jacob Saphir, yang mengunjungi Batavia (Jakarta), bertemu dengan seorang pedagang Yahudi dari Amsterdam. Menurut Saphir, terdapat 20-an keluarga Yahudi dari Belanda atau Jerman tinggal di sana, termasuk anggota pasukan kolonial Belanda.
Di masa itu, Yahudi memang berkembang luar biasa di Jakarta. Apalagi ketika Bischop yang menjadi Walikota berkuasa di Batavia pada 1916-1920 adalah seorang penganut agama Yahudi. ‘Hebatnya’, sampai dengan 1956, Pemda DKI Jakarta mencatat masih banyak keluarga Yahudi menetap di Jakarta. Bahkan 12 di antara keluarga tersebut, masih memegang paspor Israel, 56 orang memegang paspor Cekoslowakia, 22 orang memegang paspor Polandia, dan 38 orang Yahudi memegang paspor Rusia. Sensus penduduk pada 1957 mencatat, ada sekitar 450 Yahudi di Indonesia. Sebagian besar tinggal di Jakarta dan Surabaya. Melihat catatan sejarah ini, jangan heran jika pola pikir Yahudi masih berkembang di Jakarta.
Kompasianers, keberadaan Adhucstat ini ternyata memang sudah direncanakan dengan matang, terutama posisi gedungnya. Barangkali dengan ‘mata telanjang’, kita hanya mengatakan, posisinya berada di kelilingi oleh jalan Taman Sunda Kelapa, jalan Subang dan jalan Cimahi. Namun jika menggunakan google map, maka Anda akan menemukan misteri yang membuat takjub. Area yang mengelilingi Adhucstat sangat jelas membentuk kepala kambing, yang dikenal dengan nama Baphomet, The Devil Goat. Baphomet tak lain adalah anak dari perkawinan Lucifer dengan Lilith.
Sebagian orang menyebut Baphomet dengan istilah Satyr, yakni mahkluk setengah manusia setengah kambing. Baphomet merupakan simbolisasi dari the Sacred Sextrum, perpaduan antara sisi maskulinitas dengan feminitas. Gambar Baphomet yang kita kenal sekarang ini diciptakan oleh seorang tokoh okultis bernama Eliphas Levi dalam bukunya Dogme et Rituel de la Haute Magie (Prinsip dan Upacara Ilmu Sihir Tertinggi) yang terbit pada 1854, setengah abad sebelum kawasan Menteng dibangun.
Akang Jaya