Seperti disebutkan sebelumnya, para pendukung teori Atlantis memiliki kitab suci berjudul “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization” karya Prof. Dr. Aryso Santos dan Eden in the East karya Stephen Oppenheimer, seakan-akan hanya dua buku inilah yang berusaha menjelaskan teori keberadaan Atlantis. Sedangkan apabila kita mencoba membuka Wikipedia saja, ada ratusan buku lain yang menyajikan teori keberadaan Atlantis di lokasi yang berbeda-beda. Saya tidak akan membahas buku-buku tersebut, namun akan sedikit berbagi fakta sejarah bahwa jauh sebelum Arysio Santos dan Stephen Oppenheimer mengajukan “teori mutakhir” mengenai Atlantis di Nusantara, masyarakat Indonesia khususnya Jawa di awal abad-20 sebenarnya sudah sangat familiar dengan teori tersebut. Siapa yang memunculkan teori tersebut ? Tidak lain adalah C.W. Leadbeater yang dikenal sebagai Tokoh utama gerakan Teosofi merangkap Uskup Gereja Katolik Bebas.
Gerakan Teosofi adalah gerakan internasional yang didirikan tahun 1875 oleh H. Blavatsky, colonel Olcott. Gerakan ini kemudian dikomandoi oleh Annie Besan, Rudolf Steiner dan C.W. Leadbeater. Gerakan Teosofi singkatnya adalah sebuah gerakan yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan agung suatu super religion, dimana Agama dan Ilmu Pengetahuan bisa dijembatani. Siapapun yang mengaku umat Islam, Kristen, Hindu, Agnostik dan lain-lain bisa memasuki organisasi ini asalkan mengakui Teosofi sebagai Agama Super yang menaungi semua agama tersebut. Selain mengadopsi ajaran-ajaran Agama khususnya Hindu dan Budha, Teosofi juga mengambil beberapa aspek pemikiran Hermes Trismeistos, Phytagoras, Plato, Tarot, Freemason, hingga Ignatios Donnely. Teosofi juga mempercayai adanya pertentangan antara “tuhan baik” dan “tuhan jahat” seperti ajaran Gnostik Zoroaster dan Manikeanisme.
Bentuk salah satu adopsi filsafat Plato adalah kepercayaan kaum Teosofi akan legenda Atlantis. Dalam beberapa karyanya, uskup Teosofi C.W. Leadbeater membahas tema ini untuk menyokong pandangan kaum Teosofi akan adanya kasta-kasta dalam sistem hidup masyarakat Jawa. Menurutnya, sedikitnya ada tiga gelombang kedatangan bangsa asing ke pulau Jawa. Yang paling tua adalah orang-orang ras Polinesia, yang menurutnya merupakan manusia generasi ketiga, yang berasal dari benua selatan (Lemuria) dan belum memiliki indra perasa pada lidahnya. Ras ini dipercaya melakukan dosa buruk antara lain melakukan hubungan sex dengan binatang-binantang “dengan monyet-monyet sebagai saksi bisunya”, tambah Leadbeater. Selanjutnya menurut professor Veth, Jawa didatangi oleh bangsa Melayu utamanya dari Kamboja. Setelah itu, Jawa mengalami kolonialisasi oleh bangsa kulit putih dari Kalinga (India), yang mana masih meninggalkan jejak hingga saat ini.
Menurut Leadbeater, bangsa Arya yang datang kemudian tersebut berusaha untuk menjaga jarak dengan penduduk asli, namun tidak begitu sukses. Pemisahan pergaulan tersebut memunculkan adanya perbedaan penggunaan bahasa dan tradisi antara kalangan Aristokrat Jawa dan orang-orang desa yang tinggal di pegunungan.
Pengaruh atlantis terhadap Jawa juga dibahas secara khusus dalam buku Leadbeater yang berjudul “Occult History of Java” . Dalam buku itu disebutkan bahwa Pulau Jawa dulunya adalah jajahan Atlantis, namun ketika Atlantis terpecah-belah, Jawa turut terpisah dan mengalami sejarah yang kelam seram berabad-abad. Ketika dijajah Atlantis, Jawa didatangi oleh pendatang-pendatang dari Atlantis yang membawa beserta mereka kepercayaan-kepercayaan jahat dari negara mereka. Pandangan Leadbeater dalam hal ini sejalan dengan mitos Atlantis Plato yang menyebutkan penduduk Atlantis sebagai pemilik peradaban tinggi namun pendosa sehingga mendapat azab dari Zeus.
Lokasi atlantis menurut teosofi
Leadbeater mengatakan bahwa pendatang dari Atlantis ini menyembah dewa-dewa yang kejam dan menjijikan, oleh karena itu penduduk terus menerus dituntut untuk melakukan persembahan-persembahan lewat pengorbanan manusia. Para penduduk terus hidup dalam bayangan kekuasaan jahat tanpa mampu melarikan diri darinya. Mereka dipimpin oleh seorang Imam Agung yang sangat fanatic dalam kepercayaanya terhadap dewa-dewa jahat. Di sisi lain ia juga sangat mencintai Pulau Jawa sehingga ia beranggapan bahwa hanya dengan jalan pengorbanan darah setiap hari dan pengorbanan nyawa manusia setiap minggu dan hari perayaan tertentu, pulau Jawa bisa bebas dari bencana alam. Menurutnya, kemarahan dewa ditunjukan salah satunya dengan letusan gunung berapi yang kerap terjadi di Jawa. Untuk menjaga agar sistem pengorbanan ini tetap terlaksana, ia menempatkan penjaga-penjaga gaib (hantu-hantu) di berbagai tempat di pulau Jawa, terutama di kawah-kawah dan gunung berapi.
Suatu waktu Jawa kedatangan bangsa Arya di bawah komandu Chakshusha Manu dan Vaivasvata Manu sekitar tahun 1200 SM. Awalnya pendatang Hindu ini berprofesi sebagai pedagang-pedagang yang cinta damai dan bertempat tinggal di pantai hingga lama kelamaan membentuk negeri-negeri kecil. Ketika kekuasaan mereka semakin kuat, mereka mulai memaksakan pengaruh dan penerapan hukum-hukum Hindu kepada penduduk asli pulau Jawa. Namun pengaruh Hindu tidak berhasil menghilangkan prosesi-prosesi keagamaan jahat yang selama ini dipraktikan oleh penduduk asli. Mereka tetap melakukan kegiatan tersebut secara rahasia. Karena tidak berhasil menghilangkan praktek gelap ini, Vaivasvatu Manu mengajukan kepada Raja India Karishka untuk mengirimkan ekspedisi ke Jawa tahun 78 M.
Pemimpin ekspedisi itu dikenal sebagai Aji Saka. Misinya adalah memusnahkan semua upacara jahat dan kanibalisme serta menerapkan kembali berlakunya hukum dan budaya Hindu seperti sistem Kasra, vegetarisme, epos Hindu, dan abjad Jawa. Untuk melawan warisan kutukan yang dulunya disimpan Raja Atlantis di Pulau Jawa, Aji Saka menanam benda-benda yang dapat menetralisir kekuatan jahat. Dalam bahasa Jawa, benda-benda tersebut dikenal sebagai “Tumbal”. Tidak hanya itu, Aji Saka juga memindahkan gunung-gunung dan memberikan nama-nama Sansekerta pada mereka. Salah satunya adalah sebuah gunung di Japara yang paling tinggi dan dulunya disebut Mahameru, dinamainya sebagai Mauria yang diambil dari nama Dinasti Maurya (322 SM.). Raja Ashoka adalah salah satu anggota dinasti Maurya. Salah satu lokasi penempatan tumbal tersebut dipercaya berada di bawah Candi Borobudur.
Demikianlah sedikit penggalan kepercayaan kaum Teosofis terhadap Atlantis menurut salah satu uskupnya, C.W. Leadbeater. Dari pandangannya tersebut setidaknya kita bisa mengambil point penting bahwa kita jangan dulu bangga disebut keturunan bangsa Atlantis karena apabila kita konsisten dengan konteks ceritanya, walaupun penduduk atlantis memiliki peradaban tinggi, namun di sisi lain mereka melakukan banyak dosa dan kesesatan sehingga mereka mendapat hukuman dewa. Menurut Leadbeater, jejak dari kesesatan Atlantis ini ditunjukan oleh kepercayaan penduduk Jawa untuk memberikan persembahan-persembahan bernama “sajen” yang dilakukan untuk memuaskan kehendak “dewa-dewa Jahat”. Selain itu, Leadbeater tampaknya berusaha menjelaskan perilaku masyarakat Jawa yang sangat meng-kramatkan gunung-gunung dan tempat tertentu. Mereka juga menetralisir tempat-tempat angker dengan menggunakan tumbal.
Leadbeater memberikan pandangan bahwa kepercayaan terhadap Atlantis tidak selamanya perlu dibuktikan oleh bukti-bukti fisik peradaban, melainkan bisa juga dilakukan lewat penelusuran jejak “okultisme hitam” warisan Imam Agung Atlantis yang selama ini masih dipraktekkan sebagian masyarakat di pulau Jawa. Usul saya, daripada susah-susah mencari bukti fisik peninggalan Atlantis yang tidak juga kunjung ketemu, tidak ada salahnya pandangan Leadbeater ini sedikit diangkat… dengan resiko tertentu tentunya.. hehe
Referensi
Herman A.O. de Tollenaere “The Politics of Divine Wisdom”, Nijmegen, 1996C.W. Leadbeater “Sejarah Gaib Pulau Jawa”, Pustaka Teosofi Jakarta, 1976
Joedosoetardjo “Garis Besar dari Dasarnja Peladjaran Teosofi” Perwathin Semarang, 1964