Misteri Gedung Bappenas Part # 2

Bookmark and Share


Pembangunan wilayah Menteng merupakan bagian dari perluasan kota Batavia. Awalnya, Batavia hanya berada di pesisir Utara dengan dikelilingi oleh tembok berbentuk benteng. Wilayah ini dikenal dengan nama Oud Batavia (Batavia Lama) yang berpusat di Kota dan sekitarnya.

Lambat laun, Batavia semakin dipenuhi oleh pendatang, terutama dari Belanda dan orang-orang Eropa lain. Lalu saat itu terjadi wabah penyakit di Oud Batavia. Dua alasan itulah yang membuat pemerintah Hindia Belanda memperluas kota dengan membuka lahan ke arah Selatan. Wilayah Koningsplein (sekarang dikenal dengan wilayah Monas dan sekitarnya) pun dibuka, yang disebut dengan Niew Batavia (Batavia Baru).

Perbadaan Oud Batavia dan Niew Batavia adalah arsitekturnya. Jika gedung Oud Batavia bercirikan bangunan gaya renaissanse, di Niew Batavia ciri bangunannya bergaya baroque.

Memasuki abad ke-20 Masehi, Koningsplein mulai dianggap padat. Tak heran kemudian dibangun wilayah di Selatan lagi, yakni Menteng. Wilayah ini sendiri dibangun pada awal abad ke-20 Masehi oleh Pemerintahan Kota Praja Hindia Belanda. Menteng adalah tata kota modern, ‘kota taman’, yang mulai sepenuhnya mengadopsi mobil dalam tata kota modern. Suatu real estate komersial yang sekaligus menandai lliberalisasi ekonomi dan otonomi pemerintahan kota.

Adalah PAJ. Moojen, seorang arsitek Belanda didikan di Belgia sekaligus pemilik developer swasta NV de Bouwploeg, yang merencanakan tata letak dasar Menteng. Moojen merancang suatu bentuk radial pada kawasan tersebut, dimana pusatnya berada di sebuah taman lapang yang sekarang dikenal dengan nama Taman Suropati. Rancangannya berbentuk sebuah lingkaran, lengkap dengan jalan-jalan yang berada di kiri dan kanannya. Oleh Kota Praja, rancangan tersebut dinamakan Burgemeester Bisschopplein. Dinamakan itu, karena sebagai bentuk penghormatan pada Walikota Batavia pertama, yakni General Governor Meneer Bisschop (1916-1920).

Dalam rancangan itu, Moojen belum memasukkan gedung Adhucstat Logegebouw. Sebab, rancangan arsitek ini ternyata ‘bermasalah’, terutama dalam hal pengaturan lalu lintas. Dari peta asli yang ditemukan di perpustakaan Leiden, Belanda, banyak pertemuan jalan dengan sudut yang tajam, seperti jalan per-enam-an, yang dulu sempat ada di jalan Cokroaminoto, Sam Ratulangi, Gereja Theresia, dan Yusuf Adiwinata. Oleh karena itu, Kota Praja kemudian memanggil arsitek lain pada 1918 untuk merevisi rancangan tata kota Menteng.

Adalah Ir. F.J. Kubatz yang mendapat proyek oleh Kota Praja untuk memperbaiki rancangan dari Moojen. Namun Kubatz tidak sendirian. Ia dibantu oleh Ir. J.F. Van Hoytema, Ir. F.J.L. Ghijsels, dan H. Von Essen. Meski dipercaya Kota Praja, tetapi Kubatz dan rekan-rekannya itu tidak serta merta merombak total rancangan Moojen. Mereka sekadar ‘mempercantik’.

Pusat Menteng tetap di Burgemeester Bisschopplein, tetapi tidak dibuat bulat sebagaimana rancangan Moojen. Oleh Kubatz, Bisschopplein dibuat berbentuk datar. Sehingga jika dilihat dari udara, bagian Utara sebagai kubah dan bagian Selatan sebagai dasarnya. Rancangan itu pun disetujui oleh Kota Praja.

Lalu bagaimana dengan Adhucstat Logegebouw atau gedung Bappenas?

Proyek Adhucstat baru direalisasikan setelah proyek Bisschopplein kelar. Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels, salah seorang rekan Kubatz, yang membanggun Adhucstat. Lewat biro arsitek dan kontraktor Algemen Ingenieurs en Architecten Bureau (AIA), Ghijsels mendapatkan proyek Adhucstat ini dan juga Gereja Paulus yang ada di sampingnya.

Pembangunan gedung Adhucstat ini menimbulkan banyak kesimpang-siuran. Dalam catatan resmi menyebutkan, gedung yang dibangun pada 1925 ini, sangat berbeda dengan vegetasi sekitar. Bantuk bangunannya mirip dengan banteng dengan sisi kanan dan sisi kirinya berbentuk kaku-persegi serta menjorok ke depan sedikit. Namun sebuah foto yang diambil di awal 1920-an menggambarkan, gedung ini awalnya pengaruh dari klasisisme, yang kuat dengan empat pilar utama yang tinggi di beranda depan, lengkap dengan atap berbentuk piramida seperti jenis bangunan klasisme pada umumnya. Beberapa contoh gedung bergaya klasisme adalah Gedung Pancasila yang berlokasi dekat Lapangan Banteng dan Museum Gajah di jalan Medab Merdeka Barat.

Dari arsitektur bangunannya saja sudah misterius, yakni mirip dengan kepala banteng. Makin menjadi misteri ketika kegiatan persaudaraan rahasia dan upacara ritual berlangsung di dalam gedung Adhucstat ini. Saking misteriusnya, peneliti Jerman yang dikenal sebagai pakar sejarah Jakarta, Adolf Heuken, mengatakan, sebagian warga Batavia dulu sering menyebut gedung di seberang Taman Suropati itu sebagai ”rumah setan”.

(bersambung)
Akang Jaya