Menjadi seorang jurnalis yang ingin mendalami sebuah kawasan yang jauh dari kehidupan perkotaan memang tidak mudah. Seorang Wyn Sargent mengambil segala resiko untuk memahami kehidupan di Papua. Wyn mendarat di Wamena Papua pada 1 Oktober 1973. Sebagai seorang jurnalis asal California Amerika Serikat yang tertarik dengan kehidupan suku-suku adat, Wyn berbaur dengan warga setempat. Berbekal kerja keras dan tekad yang kuat, Wyn mencatat berbagai aspek penting dalam keseharian masyarakat Suku Analaga, kelompok masyarakat adat pertama yang dia temui. Setiap hari memperkaya data hingga ke Kampung Wiyogoba, sekitar lima jam dari lembah Analaga. Selain mereportasekan kehidupan warga, Wyn menawarkan perawatan kesehatan untuk warga yang sakit.
Riset yang dilakukan tidak semulus dengan data yang diperolehnya. Obahorok, kapala suku Dani di Lembah Baliem mengirim 30 prajuritnya untuk mencegat rombongan Wyn yang sedang berkeliling kampung-kampung. Tindakan Obahorok menuai kemarahan dua suku lain, Analaga dan Wiyogoba. Perang suku hampir terjadi. Wyn melihat situasi ini sebagai bentuk pertikaian yang tidak boleh dibiarkan. Wyn maju menengahi konflik. Dia mempelajari keinginan masing –masing kepala suku dan akhirnya bersedia menikahi Obahorok untuk meredakan pertikaian.
Pernikahan adat pun berlangsung pada Januari 1973. Pernikahan Wyn dengan Obahorok adalah upaya mencapai perdamaian dan persaudaraan. Walau hanya simbolis, Wyn lebih memahami cara berpikir dan perspektif warga adat di Lembah Baliem.
Pernikahan Wyn tidak berjalan lancar seperti diharapkan. Beberapa pihak merasakan keberatan dengan pendekatan partisipatif yang dilakukan Wyn. Jelas keberatan itu berlatarbelakang kepentingan. Isu tentang Why tersebar, bahwa Wyn adalah seorang antropolog yang meneliti pola kehidupan seksual warga pedalaman yang menikahi kepala suku. Isu tersebut tidak hanya tersebar di masyarakat Papua, bahkan termuat dalam koran nasional.
Akibat pemberitaan ini, pemerintah Indonesia mendeportasi Wyn. Sekembalinya ke negeri asal, Wyn menulis buku “People of the Valley” tentang kebudayaan orang Papua di lembah Baliem.
Meniru pendekatan partisipatif Wyn Sargent
Sebagai seorang antropolog, Wyn mampu membaca pertikaian yang terjadi di antara suku-suku dan menyelesaikan dengan cara menikahi salah satu kepala suku. Pernikahan ini jelas diterima dengan dasar bahwa pemenuhan kebutuhan masing-masing pihak telah terlaksana. Dengan tetap melakukan praktek kesehatan dan reportase suku-suku setempat, Wyn juga menjadi istri ke-sekian seorang kepala suku tanpa mendasari hubungan pernikahan tersebut dengan seksualitas.Tindakan Wyn adalah tindakan di luar logika umum, memahami suatu wilayah dengan tidak berbaur lebih ke dalam justru tidak akan memenuhi hasratnya untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Dengan menjadi bagian yang paling penting, seorang istri kepala suku, Wyn telah memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat suku pedalaman. Apa yang telah dirasakan masyarakat suku pedalaman, telah juga ia rasakan dan itu akan sangat berbeda jika hanya mengamati dan menjadi bagian terluar masyarakat setempat.
Saat ini, tidak semua suku-suku adat pedalaman Papua yang tersentuh campur tangan pemerintah. Yang melakukan seperti yang dikerjakan Wyn justru pegiat-pegiat yang mempunyai visi dan misi yang sama dengan Wyn. Memang, dalam pemberitaannya upaya yang dilakukan pemerintah tercantum dalam program kerja tahunan dengan tujuan pencapaian yang mulia. Kenyataannya banyak sisi kehidupan Papua yang belum terpublikasikan.
Untuk itu. perlu kita sadari bahwa tidak hanya suku suku di Papua yang menjadi pekerjaan rumah Pemerintah saat ini. Suku-suku di Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan bahwa di Jawa masih kekurangan perhatian yang mendalam dari Pemerintah. Kalau seorang Wyn bisa menjalin hubungan yang begitu indah dengan masyarakat suku-suku di Papua. Pemerintah juga harus mampu berlaku hal yang sama. Pelajari saja apa yang dilakukan Wyn? Berjalan jauh hingga ke pedalaman dan menjadi bagian dari suku yang tak pernah dijamah oleh pusat.