Dinasti Umayyah
Oleh Heri Ruslan
Di Abad Pertengahan, Wasith menjadi salah satu kota terpenting dan besar di dunia Islam.
‘’Telah menceritakan kepada kami Abdan. Telah mengabarkan kepada kami Abdullah. Telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Asy'ats dari bapaknya dari Masruq dari Aisyah radliallahu 'anha, ia berkata; ‘Nabi SAW menyukai sebelah kanan sejauh beliau bisa melakukannya, yakni dalam bersuci, memakai terompah, dan menyisir, dan setiap urusannya’. Syu'bah mengatakan, Asy'ats di kota Wasith mengucapkan kata-kata lain sebelum ini.” (HR Bukhari).
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari di atas, tertulis nama sebuah kota, yakni Wasith. Lalu di manakah kota itu terletak? Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Hadith Al-Nabawi, Wasith adalah sebuah kota yang berada di kawasan Sawad, Irak. ‘’Kota ini dinamai Wasith karena terletak di tengah-tengah (tawassuth) antara Bashrah dan Kufah,’’ ujar pakar hadis itu.
Kota Wasith dibangun oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi -- gubernur Irak untuk Kekhalifahan Umayyah yang berbasis di Damaskus, Suriah -- pada tahun 83 H/ 706 M. Menurut Ensiklopedi Britannica, Wasith sempat menjelma sebagai kota perdagangan dan militer di abad pertengahan.
‘’Wasith menjadi pusat kota di Irak pada masa Kekhalifahan Umayyah,’’ papar Dr Syauqi. Setelah menguasai kota itu, Gubernur Irak, Al-Hajjaj melakukan pembangunan besar-besaran. Ia membangun istana, masjid agung, membuka jaringan irigasi dan pertanian di seluruh kota Wasith.
Kota itu letaknya juga amat strategis, yakni di tepi Sungai Tigris yang menjadi pusat jaringan penghubung menuju seluruh bagian di wilayah Irak. Tak heran jika kota itu menjelma menjadi pusat galangan kapal yang besar dan pusat perdagangan.
Di abad pertengahan, Wasith menjadi salah satu kota terpenting dan besar di dunia Islam. Kota itu tak hanya dikenal sebagai pusat bisnis dan perdagangan, namun juga masyhur sebagai pusat intelektual. Tak heran jika dari kota itu lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim terkemuka dalam bidang hukum, hadis, sastra dan syair.
Pada era kekuasaan Umayyah, Wasit tampil sebagai pusat intelektual dunia Islam. Ibnu Batuta, pengembara Muslim legendaris dari Maroko sempat berkunjung ke kota itu. Dalam catatan perjalanannya bertajuk Ar-Rihla, Ibnu Batutta mengagumi perkembangan keilmuwan di Wasith.
‘’Bagi orang-orang yang mengunjunginya, Wasith memberi manfaat dengan pengetahunan. Suasananya mendorong setiap orang untuk memiliki pemikiran yang maju. Dan orang-orang Wasith adalah yang terbaik di Irak,’’ papar Ibnu Batuta menggambarkan geliat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang dan dicapai masyarakat Wasith ketika itu.
Ketika era kekuasaan Dinasti Ummayah berakhir Wasith masih menjadi salah satu kota yang penting. Begitu Kekhalifahan Abbasiyah berdiri, ibu kota pemerintahan Islam berpindah dari Damaskus (Suriah) ke Baghdad. Pada awal-awal perpindahan pusat kekuasaan itu, kota Wasith masih tetap diperhitungkan.
Namun, seiring berkembangnya Baghdad menjadi metropolis dunia di Abad Pertengahan, pamor Wasith pun mulai meredup. Bahkan, sejak abad ke-15 M, kota itu hampir kurang dikenal lagi. Seorang geografer asal Turki menggambarkan Wasith pada awal abad ke-17 M, sebagai kota yang terletak di tengah gurun.
Ketika Kekhalifahan Usmaniah atau Ottoman yang berpusat di Turki menguasai dunia, Wasit menjadi provinsi dan Al-Kut menjadi ibu kotanya. Dinasti Ottoman membangun kembali Wasith sebagai pos terdepan untuk menghalau serangan dari Dinasti Safawiyah yang berpusat di Iran.
Kota Wasith kembali dikenal pada era Perang Dunia I, ketika pasukan Inggris melakukan invansi. Sekarang, Wasith menjadi salah satu provinsi di Irak dan letaknya di bagian tengah Irak. Kota itu berjarak 172 kilometer dari Baghdad.
Provinsi Wasith luasnya mencapai 17.153 kilometer persegi atau sekitar 3,9 persen dari luas negara Irak. Wilayah itu merupakan sentra pertanian, karena memiliki jaringan irigasi yang bersumber dari Sungai Dijla.
Sehingga, Provinsi Wasith dikenal dengan hasil pertaniannya, seperti gandum, jerai, jagung, beras, kapas, dan bunga matahari. Tak hanya itu, kota itu juga menjadi penghasil aneka sayuran dan buah-buahan. Provinsi Wasith dihuni oleh 1,03 juta penduduk pada 2006. Populasinya mencapai 3,9 persen dari total penduduk Irak.
Oleh Heri Ruslan
Di Abad Pertengahan, Wasith menjadi salah satu kota terpenting dan besar di dunia Islam.
‘’Telah menceritakan kepada kami Abdan. Telah mengabarkan kepada kami Abdullah. Telah mengabarkan kepada kami Syu'bah dari Asy'ats dari bapaknya dari Masruq dari Aisyah radliallahu 'anha, ia berkata; ‘Nabi SAW menyukai sebelah kanan sejauh beliau bisa melakukannya, yakni dalam bersuci, memakai terompah, dan menyisir, dan setiap urusannya’. Syu'bah mengatakan, Asy'ats di kota Wasith mengucapkan kata-kata lain sebelum ini.” (HR Bukhari).
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari di atas, tertulis nama sebuah kota, yakni Wasith. Lalu di manakah kota itu terletak? Dr Syauqi Abu Khalil dalam Athlas Hadith Al-Nabawi, Wasith adalah sebuah kota yang berada di kawasan Sawad, Irak. ‘’Kota ini dinamai Wasith karena terletak di tengah-tengah (tawassuth) antara Bashrah dan Kufah,’’ ujar pakar hadis itu.
Kota Wasith dibangun oleh Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi -- gubernur Irak untuk Kekhalifahan Umayyah yang berbasis di Damaskus, Suriah -- pada tahun 83 H/ 706 M. Menurut Ensiklopedi Britannica, Wasith sempat menjelma sebagai kota perdagangan dan militer di abad pertengahan.
‘’Wasith menjadi pusat kota di Irak pada masa Kekhalifahan Umayyah,’’ papar Dr Syauqi. Setelah menguasai kota itu, Gubernur Irak, Al-Hajjaj melakukan pembangunan besar-besaran. Ia membangun istana, masjid agung, membuka jaringan irigasi dan pertanian di seluruh kota Wasith.
Kota itu letaknya juga amat strategis, yakni di tepi Sungai Tigris yang menjadi pusat jaringan penghubung menuju seluruh bagian di wilayah Irak. Tak heran jika kota itu menjelma menjadi pusat galangan kapal yang besar dan pusat perdagangan.
Di abad pertengahan, Wasith menjadi salah satu kota terpenting dan besar di dunia Islam. Kota itu tak hanya dikenal sebagai pusat bisnis dan perdagangan, namun juga masyhur sebagai pusat intelektual. Tak heran jika dari kota itu lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim terkemuka dalam bidang hukum, hadis, sastra dan syair.
Pada era kekuasaan Umayyah, Wasit tampil sebagai pusat intelektual dunia Islam. Ibnu Batuta, pengembara Muslim legendaris dari Maroko sempat berkunjung ke kota itu. Dalam catatan perjalanannya bertajuk Ar-Rihla, Ibnu Batutta mengagumi perkembangan keilmuwan di Wasith.
‘’Bagi orang-orang yang mengunjunginya, Wasith memberi manfaat dengan pengetahunan. Suasananya mendorong setiap orang untuk memiliki pemikiran yang maju. Dan orang-orang Wasith adalah yang terbaik di Irak,’’ papar Ibnu Batuta menggambarkan geliat dan kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang dan dicapai masyarakat Wasith ketika itu.
Ketika era kekuasaan Dinasti Ummayah berakhir Wasith masih menjadi salah satu kota yang penting. Begitu Kekhalifahan Abbasiyah berdiri, ibu kota pemerintahan Islam berpindah dari Damaskus (Suriah) ke Baghdad. Pada awal-awal perpindahan pusat kekuasaan itu, kota Wasith masih tetap diperhitungkan.
Namun, seiring berkembangnya Baghdad menjadi metropolis dunia di Abad Pertengahan, pamor Wasith pun mulai meredup. Bahkan, sejak abad ke-15 M, kota itu hampir kurang dikenal lagi. Seorang geografer asal Turki menggambarkan Wasith pada awal abad ke-17 M, sebagai kota yang terletak di tengah gurun.
Ketika Kekhalifahan Usmaniah atau Ottoman yang berpusat di Turki menguasai dunia, Wasit menjadi provinsi dan Al-Kut menjadi ibu kotanya. Dinasti Ottoman membangun kembali Wasith sebagai pos terdepan untuk menghalau serangan dari Dinasti Safawiyah yang berpusat di Iran.
Kota Wasith kembali dikenal pada era Perang Dunia I, ketika pasukan Inggris melakukan invansi. Sekarang, Wasith menjadi salah satu provinsi di Irak dan letaknya di bagian tengah Irak. Kota itu berjarak 172 kilometer dari Baghdad.
Provinsi Wasith luasnya mencapai 17.153 kilometer persegi atau sekitar 3,9 persen dari luas negara Irak. Wilayah itu merupakan sentra pertanian, karena memiliki jaringan irigasi yang bersumber dari Sungai Dijla.
Sehingga, Provinsi Wasith dikenal dengan hasil pertaniannya, seperti gandum, jerai, jagung, beras, kapas, dan bunga matahari. Tak hanya itu, kota itu juga menjadi penghasil aneka sayuran dan buah-buahan. Provinsi Wasith dihuni oleh 1,03 juta penduduk pada 2006. Populasinya mencapai 3,9 persen dari total penduduk Irak.
Redaktur: Heri Ruslan republika