MENELAAH PEMIKIRAN IBN KHALDÛN MENGENAI
FÎ THABÎ’AT AL-’UMRÂN FÎ AL-KHALÎQAH DALAM AL-MUQADDIMAH
PEMIKIRAN IBN KHALDÛN (1332-1406)
Secara garis besar, pembahasan Ibn Khaldûn dalam bagian ini meliputi antara lain definisi sejarah atau h}aqîqat al-târîkh (h. 329), faktor yang menyebabkan sejarawan tidak akurat dalam penulisan sejarah (h. 329-330), contoh-contoh penulisan sejarah yang tidak tepat (h. 330-331), metode kritik sejarah (h. 332), karakteristik ‘ilm al-’umrân beserta kajian pustaka mengenai ilmu tersebut (h. 332-335), dan sistematika penulisan al-Muqaddimah (h. 336-337).
Mengenai h}aqîqat al-târîkh, Ibn Khaldûn mengatakan bahwa sejarah adalah informasi tentang organisasi sosial umat manusia yang identik dengan peradaban dunia. Sejarah mengkaji perubahan yang terjadi pada sifat dasar peradaban itu, seperti tentang keliaran, keramahan, solidaritas sosial, berbagai macam kemenangan suatu masyarakat atas masyarakat lain yang mengakibatkan kemunculan kerajaan dan pemerintahan dengan tingkatan-tingkatannya. Ia juga membahas tentang hasil aktivitas dan usaha manusia yang berupa profesi pekerjaan, penghidupan, ilmu pengetahuan dan kerajinan, serta tentang perubahan peradaban yang disebabkan oleh sifat peradaban itu sendiri.
Informasi sejarah secara alami dapat dicemari kebohongan yang antara lain dikarenakan beberapa faktor sebagai berikut.
1. Terlalu fanatik terhadap pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab. Dalam keadaan netral, seseorang akan menerima informasi setelah menyelidiki akurasi informasi itu. Namun ketika fanatisme muncul, maka orang tersebut akan cenderung menerima begitu saja informasi itu tanpa menyelidikinya, sehingga kebohongan informasi diterima dan disebarluaskan.
2. Terlalu percaya kepada orang-orang yang menyampaikan informasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan ta’dîl dan tajrîh atau pemeriksaan kritis terhadap personalitas sumber informasi tersebut.
3. Tidak mampu memahami maksud sebenarnya yang terdapat dalam informasi yang diterima, sehingga informasi salah itu disebarkan lagi kepada yang lain.
4. Berasumsi secara salah terhadap kebenaran informasi karena terlalu percaya kepada sumber informasi.
5. Tidak mengetahui kesesuaian antara kondisi-kondisi yang dikandung informasi dengan realitas sebenarnya karena ambiguitas dan rekayasa, sehingga informasi salah yang telah direkayasa itu disebarluaskan.
6. Cenderung mendekatkan diri kepada para penguasa dan berkedudukan tinggi dengan memuji secara berlebihan, selalu memberikan penilaian baik terhadap mereka dan mem-blow up informasi mengenai mereka, sehingga informasi yang tersebar tidak sesuai dengan kenyataan. Memang pada dasarnya, manusia sangat suka dipuji, gemar mengejar kesenangan duniawi (misalnya kehormatan dan kekayaan) dengan segala cara, serta mayoritas manusia tidak berminat kepada perbuatan-perbuatan mulia dan tidak tertarik kepada orang-orang yang berbuat mulia.
7. Tidak mengetahui sifat-sifat kondisi yang terjadi dalam peradaban. Faktor ini jauh lebih dominan daripada faktor-faktor sebelumnya. Setiap peristiwa pasti mempunyai sifat khas yang melekat padanya dan kondisi-kondisi yang menyertainya. Pengetahuan tentang hal inilah yang dapat menolong untuk mengkritisi akurasi suatu infomasi.
Di antara contoh-contoh informasi tidak masuk akal yang ditampilkan Ibn Khaldûn ialah informasi dari al-Mas’ûdi mengenai kisah pendirian kota Alexandria oleh Alexander, kisah patung burung jalak di Roma, dan kisah Kota Tembaga, serta informasi dari al-Bakrî mengenai pembangunan Kota Gerbang.
Al-Mas’ûdî menceritakan bahwa Alexander sewaktu membangun Alexandria dihalang-halangi monster-monster laut yang mengerikan. Dia lalu menyelam ke dasar laut dalam sebuah peti kaca dan menggambar binatang-binatang tersebut. Berdasarkan gambar itu, dia kemudian membuat patung dari logam yang selanjutnya diletakkan di hadapan bangunan itu, sehingga binatang-binatang tersebut lari ketika muncul dan melihat patung-patung itu. Akhirnya, pembangunan dapat diselesaikan. Menurut Ibn Khaldûn, sangat tidak logis apabila Alexander melakukan hal tersebut karena sangat beresiko besar terhadap dirinya, dan bisa mengakibatkan rakyatnya tidak menyenanginya dan menggulingkannya. Seseorang yang menyelam ke dalam air, meski memakai kotak tertutup, pasti akan kekurangan udara untuk pernapasan. Kekurangan udara bisa menjadikan ruh semakin panas dan udara dingin semakin sedikit, sehingga kondisi paru-paru tidak stabil dan selanjutnya mengakibatkan kematian. Selain itu, sesungguhnya jin tidak memiliki bentuk khusus karena dapat berubah-rubah bentuk. Jika digambarkan bahwa jin mempunyai banyak kepala, maka hal itu semata-mata hanya untuk menunjukkan rupa jin yang sangat buruk dan menakutkan.
Cerita al-Mas’ûdî tentang patung burung jalak di Roma yang pada hari tertentu dalam setahun dikerubuti sekawanan burung jalak pembawa buah zaitun untuk dijadikan minyak oleh penduduk Roma juga tidak masuk akal. Menurut Ibn Khaldûn, proses pembuatan minyak semacam itu sangat tidak wajar.
Cerita al-Mas’ûdî lainnya ialah tentang Kota Tembaga yang dibangun semuanya dengan bahan tembaga di padang pasir Sijilmasah dan dikuasai Mûsâ ibn Nushayir ketika menyerang Maghrib. Menurut Ibn Khaldûn, para pelancong dan penunjuk jalan telah sering melintasi padang pasir Sijilmasah, namun mereka sama sekali tidak pernah mendengar informasi tersebut. Lagi pula, penggunaan tembaga untuk membangun kota sangat tidak logis karena tembaga lebih cocok jika diperbunakan untuk membuat tempat-tempat air dan perabot-perabot rumah.
Demikian pula, cerita al-Bakrî tentang Kota Gerbang yang konon mempunyai 10.000 pintu dan untuk mengelilinginya diperlukan waktu selama 30 hari. Menurut Ibn Khaldûn, kisah ini juga tidak masuk akal karena kota biasanya didirikan untuk keamanan dan perlindungan. Tentunya kota semacam itu sangat sulit dikontrol maupun untuk dijadikan sebagai tempat keamanan dan perlindungan.
Selanjutnya Ibn Khaldûn menerangkan bahwa metode paling terpercaya, dan bahkan lebih akurat daripada penelitian terhadap kredibilitas sumber informasi (ta’dîl wa tajrîh}), dalam rangka menentukan kebenaran suatu informasi terkait realitas (wâqi’ât) adalah pengetahun mengenai sifat-sifat peradaban dengan menguji apakah informasi tersebut mungkin terjadi atau mustahil. Jika mustahil terjadi, maka ta’dîl wa tajrîh tidak perlu lagi dilakukan. Adapun metode ta’dîl wa tajrîh lebih sesuai apabila diterapkan pada informasi yang terkait hukum karena biasanya memuat perintah-perintah dari Nabi.
Menurut Ibn Khaldûn, ilmu semacam ini yang membahas mengenai permasalahan peradaban manusia dan kemasyarakatan ini (’ilm al-’umrân) tampaknya merupakan ilmu baru dan berdiri sendiri, meskipun manfaatnya sebenarnya sangat banyak. Ia bukanlah ilmu retorika maupun politik. Berdasarkan pengamatan Ibn Khaldûn, belum ada seorang pun cendekiawan yang mengkaji ilmu ini secara mendalam. Barangkali para cendekiawan kurang memperhatikan atau mungkin sudah pernah mengkajinya tetapi karya-karya mereka tidak dijumpai. Selain itu, mungkin karena manfaat (tsamrah) ilmu ini terkesan kurang menarik, yakni penentuan akurasi informasi, maka mereka kemudian menjauhinya.
Sebenarnya sebagian permasalahan ilmu ini dapat dijumpai pada kajian-kajian cendekiawan terdahulu di dalam karya-karya mereka, tetapi pembahasan mereka kurang mendalam. Misalnya, dalam karya al-Mas’ûdi, Aristoteles, Ibn al-Muqaffa’ dan Abû Bakr al-Thurthûsyî. Berkat pertolongan Allah swt, Ibn Khaldûn akhirnya berupaya mengembangkan ilmu ini di dalam bukunya. Secara rendah hati, dia meminta sumbangan konstruktif dari para pembaca apabila upaya intelektualnya tersebut masih kurang maksimal.
Dalam bukunya, Ibn Khaldûn hendak menguraikan kondisi-kondisi peradaban manusia yang dalam berbagai hal melebihi makhluk lain (binatang). Kelebihan tersebut berupa [1] ilmu dan hasil kerajinan sebagai hasil dari olah pikiran, [2] kebutuhan kepada penguasa yang kokoh, [3] upaya mencari penghidupan dengan beraneka cara, dan [4] peradaban yang terdiri dari peradaban badui (nomaden) dan peradaban kota (menetap).
Di akhir pembahasan, Ibn Khaldûn menyajikan sistematika buku yang ditulisnya, yakni [1] tentang peradaban umat manusia secara umum, corak dan pembagiannya berdasarkan ilmu bumi; [2] tentang peradaban badui, serta kajian mengenai suku-suku dan bangsa-bangsa liar; [3] tentang negara-negara, khilafah, kerajaan, serta kajian mengenai tingkatan-tingkatan pemerintahan; [4] tentang peradaban menetap dan kota; [5] tentang kerajinan, mata pencaharian, profesi dan berbagai aspeknya; dan [6] tentang ilmu pengetahuan, cara memperoleh dan mempelajarinya. Menurut Ibn Khaldûn, kajian mengenai peradaban badui didahulukan karena ia mendahului bentuk peradaban manapun. Argumentasi serupa diterapkan pula ketika menyusun urutan sistematika pembahasan yang selanjutnya. [1]
TANGGAPAN
Setelah pemaparan pemikiran Ibn Khaldûn, tampaknya muncul beberapa pertanyaan yang perlu dikaji. Misalnya, bagaimana para cendekiawan lain memberikan penilaian terhadap pemikiran dan karya Ibn Khaldûn? Apakah metode yang dikemukakan Ibn Khaldûn secara mutlak sudah tepat untuk diaplikasikan? Apakah Ibn Khaldûn secara konsisten menerapkan metode tersebut dalam karyanya, sehingga dia telah berhasil membebaskan dirinya dari kesalahan-kesalahan umum dalam penulisan sejarah sebagaimana yang telah disebutkannya yang kemudian menjadikan informasi sejarah yang terdapat dalam karyanya bersifat akurat?
Penelusuran mengenai buku-buku yang mengkaji pemikiran Ibn Khaldûn akan membawa kepada pernyataan bahwa para penulis berbeda pendapat dalam memandang sosok Ibn Khaldûn. Sebagian memandangnya sebagai peletak dasar ilmu filsafat sejarah dan sebagian lagi menempatkannya sebagai perintis sosiologi. Perbedaan cara pandang ini antara lain juga disebabkan perbedaan pemahaman mengenai ilmu yang membahas peradaban umat manusia yang sering disebut ‘Ilm al-’Umrân al-Basyarî atau ‘Ilm al-Ijtimâ’ al-Insânî. Sebagian berpendapat bahwa ilmu yang dicetuskan Ibn Khaldûn ini membahas fenomena-fenomena sosial sebagaimana terdapat dalam sosiologi. Meskipun pembahasan Ibn Khaldûn tidak begitu gamblang sebagaimana penjelasan para sosiolog modern, semisal Durkheim yang menulis Les Regles de la Methode Sociologique.[2] Mengenai hal ini, Zainab al-Khudhairi mengatakan bahwa Ibn Khaldûn lebih tepat dipandang sebagai filosuf sejarah, sebagaimana cara pandang para penulis Barat. Adapun penempatan Ibn Khaldûn sebagai sosiolog, terutama di kalangan dunia Arab paruh pertama abad XX, dikarenakan pada waktu itu sosiologi merupakan ilmu baru, sehingga mereka merasa bangga jika menampilkan Ibn Khaldûn. Selain itu, mungkin mereka kurang memahami perkembangan metode-metode sosiologi.[3]
Penilaian Ibn Khaldûn sebagai peletak dasar ilmu filsafat sejarah dikemukakan pula oleh Arnold Toynbee dalam A Study of History, Robert Flint dalam History of the Philosophy of History in France, Belgium and Switzerland, Gaston Bouthoul dalam Ibn Khaldoun: Sa Philosophie Sociale, Carra de Vaux dalam Les Penseurr de l’Islam, Yves Lacoste dalam Ibn Khaldoun: Naissance de l’Histoire Passe du Tiers Monde, Thaha Hussein dalam La Philosophie d’Ibn Khaldoun, Syâthi’ al-Husyrî dalam Dirâsah ‘an Muqaddimah Ibn Khaldûn, Muh}ammad ‘Abd Allâh ‘Inân dalam Ibn Khaldûn: H}ayâtuh wa Turâtsuh al-Fikrî, dan ‘Abd al-Râziq al-Makkî dalam al-Fikr al-Falsafî ‘inda Ibn Khaldûn.[4]
Selanjutnya berkaitan dengan metode sejarah kritis Ibn Khaldûn yang lebih mengedepankan kritik terhadap aspek isi (dengan penerapan kaidah kemungkinan terjadinya peristiwa) berdasarkan rasionalitas daripada kritik terhadap kredibilitas sumber informasi, bisa diajukan pertanyaan sebagai berikut. Apakah semua perisiwa yang mungkin terjadi itu sungguh-sungguh terjadi dalam kenyataan? Seringkali terdapat informasi mengenai peristiwa yang mungkin terjadinya tetapi sebenarnya informasi itu bohong belaka, atau ada informasi yang mungkin terjadinya pada orang tertentu, tetapi mustahil bagi orang lain. Oleh karena itu, tampaknya akan lebih baik apabila kritik isi (matn) dan sumber (sanad) dilakukan secara bersama-sama.
Demikian pula halnya dengan informasi terkait hadis-hadis Nabi (akhbâr syar’iyah). Bukankah penentuan penerapan antara kritik isi (matn) dan sumber (sanad) terhadap setiap hadis berbeda-beda. Bahkan, seringkali para pakar hadis menolak hadis yang secara sanad benar, tetapi secara matn salah. Harus diakui bahwa memang benar bahwa penelitian sumber kurang bermanfaat jika diterapkan pada informasi yang tidak masuk akal. Tetapi bukankah dengan mengetahui sumber informasinya, kita juga dapat mengklasifikasikan para sumber informasi palsu tersebut dan kemudian menolak informasi-informasi mereka.[5]
Dalam penjelasannya, Ibn Khaldûn memang telah menyebutkan beberapa penyebab yang memungkinkan seseorang terjebak dalam kesalahan penulisan sejarah. Namun tampaknya faktor-faktor penyebab tersebut baru sebatas faktor internal yang muncul dari dalam diri sejarawan sendiri. Bukankah ada juga faktor eksternal yang mengakibatkan sejarawan harus keliru secara sengaja dalam menulis sejarah. Faktor itu antara lain berupa tekanan-tekanan dari penguasa atau masyarakat yang berada di sekitarnya. Ada kalanya seorang sejarawan mengalami ancaman yang membahayakan dirinya jika tetap menulis secara obyektif yang bertentangan dengan selera penguasa atau masyarakatnya.
Hal serupa barangkali juga terjadi pada penulisan sejarah Islam. Misalnya, penulisan sejarah pada masa ‘Abbâsiyah yang biasanya sering dijadikan sumber pokok penulisan sejarah. Mengapa belum dijumpai sebuah buku sejarah yang ditulis pada masa sebelum ‘Abbâsiyah? Apakah memang sebelum abad IX belum ada minat untuk menulis buku sejarah? Mengapa buku koleksi hadis karya al-Zuhrî pada masa Umawiyah tidak diketahui jejaknya? Memang tercatat betapa besar kebencian ‘Abbâsiyah yang membantai rezim Umawiyah yang digulingkannya. Oleh karena itu, patut di duga bahwa ‘Abbâsiyah tidak menghendaki ada orang yang menulis hal-hal baik apalagi memuji Umawiyah.[6]
Selanjutnya, apakah Ibn Khaldûn termasuk cendekiawan yang konsisten dengan pemikirannya dalam menulis sejarah? Ternyata penelaahan menunjukkan bahwa Ibn Khaldûn tidak konsisten menerapkan pemikiran cemerlangnya. Dengan mengutip pendapat Thaha Hussein, maka Zainab al-Khudairi mengatakan bahwa Ibn Khaldûn dalam menulis karya sejarahnya tidak konsisten dengan metode yang disusunnya sendiri dalam al-Muqaddimah. Di antara kesalahan-kesalahannya ialah Ibn Khaldûn mendustkan informasi yang menyatakan bahwa Hârûn al-Rasyîd senang minum khamr. Selain itu, Ibn Khaldûn terkenal suka mengambil hati para penguasa untuk mendapatkan suatu jabatan. Misalnya, sikapnya kepada dinasti Idrîsiyah ketika Idrîs Akbar meninggal tanpa dikaruniai seorang putera, yang kemudian disangkal oleh Ibn Khaldûn.[7] Demikian juga kedekatan Ibn Khaldûn dengan Barqûq, sultan Mamlûk (1382-1399) yang menjadikan Ibn Khaldûn menghubungkan nasab Barqûq dengan suku Ghassân, atau ketika menghubungkan nasab dinasti Hafsh dengan Umar ibn al-Khaththâb, serta kesalahan-kesalahan lainnya yang tidak akurat.[8]
Kelihatannya, sungguh tepat ungkapan ‘Alî ‘Abd al-Wâh}id Wâfî yang menyatakan bahwa sebagai sejarawan, Ibn Khaldûn sama seperti para sejarawan pada umumnya yang kurang cermat dalam penulisan sejarah. Bahkan banyak sejarawan lain yang lebih unggul. Namun sebagai teoritisi dalam bidang sejarah, Ibn Khaldûn sangat layak mendapatkan penghargaan tinggi karena prestasinya tersebut di saat kondisi dunia Islam pada umumnya berada dalam masa kemunduran.[9]
Kita juga perlu mengapresiasi model penulisan Ibn Khaldûn dalam karyanya, sebagaimana tampak dalam sistematika pembahasan, walaupun Ibn Khaldûn bukanlah orang pertama yang menerapkan model penulisan tematis semacam itu. Sebelum Ibn Khaldûn, terdapat al-Mas’ûdî yang telah mempraktekkan metode tersebut. Ternyata langkah al-Mas’ûdî yang diikuti Ibn Khaldûn tidak hanya itu karena Ibn Khaldûn juga meniru al-Mas’ûdî ketika mengaplikasikan metode rasional (dirâyah) dalam penulisan sejarah.[10]
DAFTAR PUSTAKA
‘Alâl, Khâlid Kabîr, Akhta’ al-Muarrikh Ibn Khaldûn fî Kitâbih al-Muqaddimah. Aljazair: Dâr al-Imâm Mâlik, 2005.
‘Âshî, H}usayn. Ibn Khaldûn Muarrikhan. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 1991.
Al-Kudhairi, Zainab. Filsafat Sejarah Ibn Khaldûn, ter. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1987.
Ibn Khaldûn, ‘Abd al-Rah}mân ibn Muh}ammad. Muqaddimah Ibn Khaldûn, ed. ‘Alî ‘Abd al-Wâh}id Wâfî, vol. 1. Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyah al-’Âmmah li al-Kuttâb, 2006.
Shiddiqie, Nourouzzaman. Pengantar Sejarah Muslim. Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983.
Suharto, Toto. Epistemologi Sejarah Kritis Ibn Khaldun. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: Logos, 1997.
[1] Lihat ‘Abd al-Rah}mân ibn Muh}ammad ibn Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn yang di-tahqîq oleh ‘Alî ‘Abd al-Wâh}id Wâfî, vol. 1 (Kairo: al-Hay’ah al-Mishriyah al-’Âmmah li al-Kuttâb, 2006), 329-337.
[2] Lihat pengantar ‘Alî ‘Abd al-Wâh}id Wâfî dalam Muqaddimah Ibn Khaldûn, 179 dan 188.
[3] Zainab al-Kudhairi, Filsafat Sejarah Ibn Khaldûn, ter. Ahmad Rofi’ Utsmani (Bandung: Pustaka, 1987), 3, dan 69-70.
[4] Ibid., 56.
[5] Khâlid Kabîr ‘Alâl, Akhta’ al-Muarrikh Ibn Khaldûn fî Kitâbih al-Muqaddimah (Aljazair: Dâr al-Imâm Mâlik, 2005) 9-11. Buku ini dapat diunduh dari http://www.sfhatk.com/vb/showthread.php?t=8399.
[6] Nourouzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983), 23-25
[7] Al-Kudhairi, Filsafat Sejarah, 51-53.
[8]Selengkapnya dapat dilihat dalam H}usayn ‘Âshî, Ibn Khaldûn Muarrikhan (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 1991), 179-189, dan ‘Alâl, Akhta’ al-Muarrikh, 77-118.
[9] Lihat pengantar Wâfî dalam Muqaddimah, 116.
[10]Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos, 1997) 130, 166-168, dan Toto Suharto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibn Khaldun (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003) 127 dan 132-134.
Ahmad Choirul Rofiq