Vietnam Kecil di Kepulauan Riau

Bookmark and Share


1336811956503613753

Eks Kamp Pengungsi Pulau Galang dan Jejak Manusia Perahu Korban Perang Vietnam

“Dedicated to the people who died in the sea on the way to freedom.”
Ini adalah kalimat tertera pada prasasti di pintu masuk lokasi pekuburan Ngha Trhang yang berada lokasi eks kamp pengungsi manusia perahu (people boat) di Pulau Galang Kepulauan Riau. Di dalam pekuburan ini terbaring sekitar 500-an makam penganut Budha dan Kristen. Kuburan ini adalah saksi bisu yang ditinggalkan ribuan pengungsi asal Vietnam dan Kamboja yang pernah tinggal di lokasi pengungsian ini ditahun 1980-an.

Pekuburan ini juga menjadi salah satu saksi sejarah, betapa kekejaman perang saudara yang berkecamuk di Indo China pada saat itu, sehingga ribuan orang terpaksa rela menyabung nyawa menantang ganasnya gelombang laut hanya demi mendapatkan kebebasan. Kamp Pengungsian Pulau Galang (Galang Refugees Camp) ini berada disalah satu bukit di Desa Sijantung, luasnya sekitar hampir sekitar 80 hektar. Untuk menyaksikan lokasi bekas pengungsian ini cukup mudah. Sebab dari Kota Batam hanya butuh waktu sekitar 45 menit. Apalagi dalam perjalanan dapat menyaksikan keindahan alam yang sungguh elok.


Secara administratif, Pulau Galang berada dalam satu kesatuan pengelolaan dengan Pulau Batam, Pulau Rempang dan pulau-pulau kecil lainnya, sehingga populer dengan sebutan BaReLang (Batam, Rempang, Galang). Saat ini, tiga pulau tersebut sudah terhubung dengan jembatan dan sarana jalan yang cukup baik.



Vietnam Kecil


Kamp pengungsian Pulau Galang boleh jadi merupakan lokasi pengungsian terbesar yang pernah ada di Indonesia. Selain luasnya mencapai sekitar 80 hektar, jumlah pengungsi yang ditampung disini –dari penghujung 1970-an hingga awal 1990-an– mencapai sekitar 250 ribu orang. Sebagian besar berasal dari Vietnam dan sebagian kecil dari Kamboja. Mereka adalah korban perang saudara yang cukup lama berkecamuk di dua negara tersebut. Besarnya jumlah pengungsi asal Vietnam, maka lokasi ini pun sempat mendapat julukan “Vietnam Kecil,” karena pada populasi pengungsi saat itu sudah melebihi jumlah penduduk setempat.


Kamp pengungsian ini dibangun oleh Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR/United Nations High Commision for Refuges) dan Pemerintah Indonesia di akhir tahun 1970-an untuk menampung ribuan pengungsi dari daratan Vietnam dan Kamboja.


Kini, meski pengungsi sudah lama hengkang dari Pulau Galang, namun bekas-bekas yang ditinggalkannya masih terlihat di lokasi yang kini menjadi obyek wisata. Salah satu diantaranya adalah ruas jalan baik menuju kamp maupun di dalam areal pengungsian yang cukup mulus. Selain itu juga ada beberapa bangunan yang masih tegak meski tampak kurang terawat.


Jika menyusuri areal kamp pengungsian ini dari depan, maka pertama ditemui adalah pos retribusi masuk lokasi wisata. Tak jauh dari pos retribusi terdapat petunjuk arah menuju Pagoda Quan Am To. Bangunan Pagoda itu terletak di atas bukit. Kondisinya cukup terawat dan masih berfungsi untuk aktivitas agama Budha.


Konon, pagoda ini masih dijadikan tempat untuk “memohon” baik untuk baik untuk kenaikan pangkat maupun untuk kelimpahan rejeki. Di pagoda ini, terdapat patung Dewi Kwan Im, atau Patung Dewi Belas kasih. Juga terdapat patung naga. Ada mitos yang menarik berkaitan dengan patung naga ini. Konon, siapapun yang berhasil memasukan uang logam ke mulut naga ini, apapun keinginannya akan tercapai.


Pada bangunan di samping pagoda terpampang foto-foto para pengungsi, sebagian diantaranya mulai memburam.


Agak ke dalam, tak jauh dari Pagoda terdapat tugu kecil bertulisan “Humanity Statue.” Di dekat tugu ini terdapat penjelasan bahwa patung itu didirikan oleh para pengungsi sebagai peringatan akan musibah yang dialami Tinh Nhan, seorang pengungsi perempuan yang diperkosa beramai-ramai oleh sesama pengungsi tepat di tempat patung tersebut berdiri. Karena tidak kuat menanggung penderitaan, Tinha Nhan akhirnya bunuh diri tidak lama setelah musibah itu.


Lebih ke dalam lagi akan dijumpai kompleks pemakaman Ngha Trang yang telah disinggung tadi. Dari pekuburan terlihat beberapa bekas perahu pengungsi yang diangkat ke darat sebagai kenangan atas perjuangan mereka mengejar hidup yang lebih baik.



Dua Blok


Lokasi pengungsian Pulau Galang yang dibangun oleh Badan PBB untuk Pengungsi dan Pemerintah RI sebenarnya terbagi dua blok yakni, Galang 1 dan Galang 2. Namun sayangnya, Kamp Galang 1 sudah yang rusak, bahkan berubah menjadi semak belukar. Sedangkan di Kamp Galang 2 selain masih terdapat bekas reruntuhan bangunan gereja protestan, juga terdapat gereja katolik yang sekilas kondisinya masih cukup baik. Di depan Catholic Church” ini terdapat gerbang dengan tulisan dalam bahasa Vietnam yakni “Nha To Duc Ne Vo Nhiem.” Di bawahnya terdapat terjemahannya dalam bahasa Inggris, “Immaculate Conception Mary Church” atau “Gereja Maria Dikandung Tanpa Noda.” Bangunan gereja ini terbuat dari kayu, tapi tampak terawat. Di halaman ada patung perahu dengan Bunda Maria di atasnya.


Pada saat masih berfungsi sebagai penampungan pengungsi, lokasi ini dikelilingi dengan pagar kawat berduri. Di dalamnya tersedia berbagai fasilitas yang tergolong lengkap. Selain barak-barak penginapan. Juga terdapat rumah sakit, sekolah, warung, kedai kopi, youth center, bahkan terdapat bangunan penjara. Selain itu, juga terdapat kantor perwakilan UNHCR dan pos satuan keamanan TNI/Polri. Sayangnya, sebagian besar fasilitas tersebut telah rusak bahkan tak berbekas lagi. Memang ada pula yang direstorasi. Seperti bangunan bekas Kantor UNHCR yang kini jadi museum kecil.



Manusia Perahu


Keberadaan kamp pengungsian ini, tentu selain menjadi saksi bisu kekejaman Perang Vietnam, tapi sejatinya juga menjadi bukti akan komitmen bangsa Indonesia terhadap Pancasila yang mengandung pirinsip kemanusiaan yang adil dan beradab. Sebab dapat dibayangkan, akibat perang saudara bertahun-tahun, puluhan ribu warga Vietnam terpaksa kabur dari negaranya sendiri mencari tempat aman. Mereka lari dengan menggunakan perahu kayu ukuran kecil dan mendarat di banyak negara asing, termasuk Hongkong, Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia.


Melintasi Laut Cina Selatan yang terkenal ganas tentu tidak mudah. Tak sedikit di antara pengungsi yang tewas di tengah jalan, sebelum sampai ke tempat tujuan. Mereka yang selamat, berharap akan memiliki masa depan yang lebih baik, di negara tujuan. Para pengungsi datang dari berbagai status sosial, dari orang miskin, orang kaya, petani, pedagang, guru, insinyur hingga dokter kesehatan dan bekas tentara.


Kekejaman perang yang memaksa mereka meninggalkan tanah air sendiri, mempertaruhkan nyawa di tengah laut. Dengan menahan lapar dan haus mereka berharap bisa segera mencapai wilayah yang mau menerima mereka. Tapi tak kurang kisah sedih yang mereka temui, seperti dicegat perompak yang menjawah harta mereka hingga ludes, dan memerkosa wanita-wanita yang berkulit kuning itu. Bahkan, kalau pun terdampar di pantai kerap dimusuhi masyarakat atau pemerintah setempat, dilempari batu, diusir kembali ke tengah laut.


Biasanya, pengungsi baru selamat, (untuk sementara), bila mereka sudah memasuki wilayah kepulauan Indonesia. Soalnya, negara-negara yang punya kamp pengungsi lainnya seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Hong Kong, enggan menerima kehadiran mereka.


Bila kapal pengungsi itu menjumpai patroli laut Kerajaan Malaysia, misalnya, seperti pengakuan para pengungsi, mereka cuma diberi bekal seadanya lalu ditunjukkan arah menuju Pulau Galang. Maka, ketika pulau di wilayah Indonesia sudah tampak, mereka pun segera membolongi kapal atau sengaja merusak mesin kapal. Dengan alasan yang dibuat-buat itu akhirnya mereka ditampung di Pulau Galang.


Kini Pulau Galang telah kosong melompong ditinggal para pengungsi. Kawasan yang indah permai ini, kini telah sepi. Tentu, adalah lebih baik, bekas kamp pengungsian ini dimanfaatkan secara maksimal sebagai obyek sejarah dan wisata alam. Karena sesungguhnya banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tempat pengungsian ini. Padanya terdapat sejumlah pesan. Di satu sisi tentang pentingnya memelihara keberlanjutan kehidupan, cinta kasih, persahabatan. Pada sisi lain, jadi pengingat akan kejamnya peperangan dalam segala bentuk dan manifestasinya.


Paulus Londo