(Sumber Foto dari Google)
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang dikenal dengan G30S masih menarik untuk selalu dikaji, terutama mengenai siapa yang menjadi dalang peristiwa berdarah itu. Berbagai buku yang ditulis oleh banyak kalangan pun menunjukkan beragam versi tentang peristiwa itu. Tragedi 30 September telah terjadi 43 tahun yang lalu. Banyak fakta objektif yang bersifat mutlak dan tidak bisa dipungkiri; antara lain keterlibatan PKI; ambiguitas Soekarno; CIA terlibat ;intrik dalam tubuh militer (khususnya AD); serta kedekatan hubungan personal antara pelaku utama G 30 S dengan Mayjen Soeharto, Pangkostrad/ Pangkopkamtib.
G 30 S juga tidak dapat diabaikan begitu saja, mengingat bahwa peristiwa tersebut menjadi faktor bagi operasi paling efektif pembasmian suatu ideologi di sebuah negara. Stigmatisasi yang diterapkan Soeharto terhadap mereka yang tidak terlibat langsung dengan komunisme misalnya melarang anak-anak eks tapol untuk menjadi pegawai negeri juga merupakan cara yang efektif untuk menutup kemungkinan bangkitnya komunisme di negeri ini.
Peristiwa yang sangat tragis di negeri ini. Banyak korban berjatuhan yang tidak tahu mereka terlibat atau tidak, tetap diekskusi dengan gaya militerisme yang menjadikan dalam sejarah tragedi terbesar di negeri ini. Bahkan ada sumber menyebutkan lebih dari 1 juta lebih yang menjadi korban di Jawa dan Bali. Ini sangat menjadi momok bagi masyarakat bahwa PKI, merupakan pelaku tunggal atas peristiwa berdarah itu. Penyebutan nama belakang PKI dalam gerakan 30 september itu mendedikasikan bahwa PKI merupakan faktor utama di balik peristiwa ini. Pembunuhan massal 1965-66 tidak boleh tidak merupakan kejahatan
kemanusiaan, tidak tergantung siapa pelakunya dan siapa korbannya. Begitu
juga penahanan/penjeblosan ribuan orang ke kamp-kamp tahanan
bertahun-tahun tanpa proses hukum adalah pelangaaran HAM yang besar.
Pada masa orde baru Sejarah mengalami masa gelap terkait gerakan 30 September 1965. banyak sumber- sumber sejarah yang di manipulasi, Sejarah dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa dan rezim. Contoh nyata adalah penjelasan sejarah tentang Gerakan 30 september 1965, yang di izinkan hanya versi tunggal yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di dalam buku putih yang dikeluarkan oleh Sekertaris Negara, di cantumkan secara tegas bahwa pemberontakan PKI. hingga di tingkat daerah harus dibasmi untuk membersihkan penyakit-penyakit pemerintah yang mereka namakan PKI beserta koleganya. Dengan cepat Militer Turun kedaerah-daerah untuk menumpas dengan slogan “matikan PKI sampai keakar-akarnya”
Begitu rumitnya masalah insiden 1965 ini, di karenakan sumber sejarah seakan di putar balikan oleh penulis resmi pemerintah yaitu Nugroho Notosusanto. Dan menurut Kathrine E. McGregor telah menunjukkan secara rinci tentang sebuah kenyataan dari ketunggalan dan keseragaman historiografi Indonesia yang diproduksi atau direproduksi di Indonesia. Bangunan historiografis menyeragamkan cara orang Indonesia memaknai dan merekontruksikan masa lalunya merupakan buah dari keberhasilan militer menempatkan idiologinya telah berhasil sebagai pusat berfikir historis. Militer sebagai sebuah intuisi dan ideologinya telah berhasil membangun citra baik untuk melegitimasi dirinya sendirinya maupun kekuasaannya yang didukungnya melalui pemaknaan tunggal dan naratif tunggal pada konstuksi masa lalu Indonesia. Dengan tangan Nugroho ini, pemaknaan tunggal bahwa PKI merupakan pihak yang disalahkan dalam peristiwa 1965. Seakan supremasi kekutan militer menjadi faktor utama dalam masalah ini.
Setelah masa Orde Baru lengser dari permukaan negeri ini, mengakibatkan banyak sejarawan meluruskan sejarah khususnya masalah tragedi pada tahun 1965. Banyak topik mengenai tragedi 1965 beredar di negar Indonesia. Dengan adanya pelurusan sejarah makin menjadikan beragam sejumlah hal-hal yang mengenai insiden’65. Dan sampai kapan masalah topik insiden 1965 akan berakhir. Peristiwa yang unik ini atau paling mengerikan di negeri menjadikan banyak penulis sejarah berminat atau mengkaji mngenai tragedi ini. Bukan itu saja pelanggaran HAM harus segera ditegakkan mengenai insiden ini. Sampai kapan masalah ini terselesaikan, tanpa ada garis miring PKI dibelakangnya?
Priya Purnama