Saat berada di kompleks situs makam keluarga Raja (Karaeng) Tondongkura, Senin (9/4) saya sempat tertegun lama menyaksikan kondisi fisik dan susunan batu yang didirikan melingkar di tiap makam raja, meskipun sudah rusak akibat bencana angin dan kebakaran dahsyat ratusan tahun silam yang pernah melalap Hutan Tondongkura dan kampung tua di sekitarnya.
Batu serupa papan yang berdiri di samping kiri kanan makam raja itu bukanlah batu biasa, tapi “batu salu – salu”—sebut saja begitu—berbentuk serupa papan hitam, berat dan keras yang diambil dari pegunungan batu kapur di Salu-salu. Sejauh mata memandang di depan Batu Buleng diatas Hutan pegunungan Tondongkura, Salu-salu itu masih sangat tampak jauh sejauh mata memandang.
Yang terbersit di benak saya adalah totalitas pengabdian dan ketulusan cinta rakyat kepada rajanya. Kenapa ? Ya, karena Salu – salu itu terletak puluhan kilometer dari kompleks makam keluarga Raja (Karaeng) Tondongkura. Sukar untuk membayangkan kesetiaan tenaga manusia memikulnya dengan jarak tempuh demikian jauhnya ditambah kondisi medan yang harus dilalui naik turun gunung, melewati hutan lebat dan meniti sungai dengan bebatuan cadas yang terjal.
Dari nama Raja yang dimakamkan di tempat ini sudah terbayang kearifannya dalam ma’gau (menjalankan pemerintahan) sehingga saya menolak asumsi / dugaan kalau rakyat memikul Batu Salu-salu itu karena tekanan atau perintah kerja paksa. Tak ada sejarah kerja paksa di Tondongkura, malahan yang saya dapati sebaliknya, yaitu sejarah keislaman yang terbangun diatas dasar ketenangan dan kesejahteraan rakyat. Tondongkura sendiri berasal dari kata “Tamangngura – ura” yang berarti Tidak apa-apa. “Siapa saja yang masuk Tondongkura, akan aman dan tidak apa-apa”, ujar Abdul Munir, S.Pd.I, Kades Tondongkura yang diamini H. Puang Tompo, Ketua Lembaga Adat “Anrong Appaka” di Desa Tondongkura.
Di kompleks situs makam keluarga Raja Tondongkura ini, terbaring dalam damai La Mangnguluang Karaengta Tinroa ri Tappana. Beliau inilah Karaeng Tondongkura I masa Islam diberi gelar anumerta “Karaengta Tinroa ri Tappana” yang berarti “Yang meninggal dalam iman dan keyakinannya” oleh rakyatnya. Beliau ini pula penyebar agama Islam pertama di Tondongkura. Disebelah timurnya makamnya, didalamnya terbaring pula dalam damai Karaeng Tondongkura II yang dikenal kehidupannya sangat sederhana dan bersahaja. Oleh rakyatnya digelari “Karaengta Tinroa ri Pakkerena” (Raja yang meninggal dalam kefakiran dan kemiskinannya).
Yang paling membekas dalam ingatan masyarakat Tondongkura adalah narasi tutur leluhurnya pada saat masih bermukim di kampung tua Tondongkura, yang letaknya tidak jauh dari kompleks makam keluarga Raja adalah makam Tontoang Daeng Manai. Karaeng Tondongkura kelima ini dikenal rakyatnya sebagai ahli dzikir dan tak pernah lepas dzikirnya sampai akhir hayatnya. Itulah sebabnya raja ini digelari “Karaengta Tinroa ri Zikkirina” yang artinya Raja yang meninggal dalam keadaan berdzikir. Pada tiap malam jum’at, seringkali masyarakat melihat cahaya yang terang benderang keluar dari kuburnya.
Sebagaimana makam raja lainnya, kondisi batu Salu-salu disamping kiri kanan makam La Mangnguluang Matinroa ri Zikkirina sudah terbelah dan yang tampak saat ini adalah seperdua atau sepertiga dari ukuran batu Salu-salu yang sebenarnya. Karaengta Matinroa ri Zikkirina ini menurut H. Puang Tompo (mantan Kades Tondongkura dan penulis silsilah Kekaraengan Tondongkura) adalah putera kedua dari Cemang (Sulaiman) Daeng Siajang (Karaengta Tinroa ri Pattujunna) yang juga berarti La Mangnguluang Karaengta Matinroa ri Zikkirina ini adalah cucu dari Karaeng Janggo di Labakkang. Beliau inilah yang menurunkan Karaeng Solong Dg Matteppo sebagai cucunya yang dikemudian hari tampil sebagai Karaeng Tondongkura sekaligus Karaeng (Regent) Balocci.
Kini batu nisan makam dan batu Salu-salu di kompleks makam keluarga Raja (Karaeng) Tondongkura menjadi saksi bisu gambaran kesetiaan dan totalitas pengabdian rakyat kepada pemimpinnya. Kondisi makam sekilas tampak berantakan, tetapi itu bukan karena ulah tangan manusia tetapi karena faktor alam, bencana angin ribut serta dampak dari pohon – pohon besar yang bertumbangan ke dalam kompleks makam.
Dengan menyaksikan batu nisan dan kondisi makam Karaeng Tondongkura tersebut, pikiran kita bisa mengembara ke masa lampau dimana pernah terwujud keadilan dalam berpemerintahan sehingga rakyat taat dan tulus mengabdi kepada Rajanya. Saat ini sukar untuk membayangkan kondisi seperti itu bisa terwujud—salah satu sebabnya mungkin karena— pemimpin tidak satu hati dengan rakyatnya dan rakyat hanya dibutuhkan pada saat pemilihan.M Farid W