Panorama, itulah sebutan untuk kampus Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad). Pada 1962, nama kampus tersebut diganti menjadi Akademi Militer Jurusan Teknik (Akmil Jurtek). Sejak 1963, taruna Akmil Jurtek tingkat satu dan tingkat dua mulai belajar di Bumi Tidar Magelang, sebutan Akademi Militer Nasional (AMN, kini Akmil).
Kini Bumi Panorama di Jalan Hegarmana, Bandung, dikenal sebagai kampus Sekolah Calon Perwira (Secapa). Namun, kenangan di Bumi Panorama masih membekas di benak para perwira dan taruna yang pernah bertugas dan belajar di sana pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an. Terutama tentu saja korps kecabangan zeni.
Atekad banyak melahirkan perwira-perwira yang menonjol di corps zeni (czi). Salah satu yang sangat dikenal adalah Pierre Andreas Tendean.
Pierre lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939. Pierre adalah anak laki-laki satu-satunya di antara tiga bersaudara. Ie putra dr Tendean, asli Minahasa, sedangkan sang ibu bernama Cornell M.E. Pierre yang berdarah Prancis.
Karena keturunan blasteran itulah, Pierre memiliki wajah rupawan. Sebenarnya, sang ayah menginginkan Pierre menjadi insinyur. Namun, sejak duduk di kelas atas SMA Bagian B di Semarang, Pierre memutuskan untuk mendaftar sebagai tentara. Ia akhirnya memilih mendaftar ke Atekad di Bandung pada 1958 dan diterima sebagai taruna angkatan VI.
Sejak menjadi taruna, Pierre termasuk menonjol. Terutama di bidang olahraga. Ia aktif sebagai pemain inti di first team basket dan tenis taruna Atekad. Kulitnya yang putih bersih dan wajah tampan, Pierre pernah mendapat julukan Si Ganteng dari Bumi Panorama. Bahkan, para pengidolanya dari kalangan remaja perempuan di Bumi Priangan menjuluki Pierre sebagai Robert Wagner dari Panorama.
Ketampannya memang terkenal di kalangan taruna, juga para gadis-gadis Kota Kembang. Saat dilantik menjadi perwira pertama berpangkat letnan dua (letda) czi pada 1961, Pierre langsung ditugaskan di satuan tempur zeni, sebagai komandan peleton Yon Zipur 2 Kodam II/Bukit Barisan. Pada 1965 Menko Hankam/Kepada Staf ABRI Jenderal A.H. Nasution memilih Pierre sebagai ajudannya.
Saat menjadi ajudan Pak Nas (sebutan akrab Jenderal Nasution), Pierre tak kehilangan pesona di kalangan para gadis remaja, terutama mahasiswa. Ketika Pak Nas berceramah, ada anekdot di kalangan mahasiswi waktu itu, ”Telinga kami untuk Pak Nas, tapi mata kami untuk ajudannya.”
Para penculik mengira bahwa Pierre adalah Jenderal Nasution. Karena itu, Pierre turut dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur, dan gugur di sana bersama enam jenderal TNI-AD lainnya. Yakni, Letjen A. Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, Mayjen Haryono M.T., Brigjen D.I. Pandjaitan, dan Brigjen Soetojo Siswomihardjo.
Namun, keterangan bahwa penculik mengira Pierre sebagai Nasution sempat diragukan. Pasalnya, kulit Pierre lebih putih dan wajahnya masih muda. Dalam keterangan dari beberapa pelaku sejarah, ada analisis bahwa sebenarnya gerombolan sudah mengaku salah menculik Pierre. Namun, ia akhirnya tetap dibunuh. Pierre akhirnya ditetapkan presiden sebagai pahlawan revolusi dan pangkatnya dinaikkan menjadi kapten anumerta.
Tragis. Pasalnya, Pierre sebenarnya berniat untuk menikah dengan Rukmini binti Chaimin pada November 1965. Dia seorang gadis cantik yang dikenal Pierre saat masih bertugas di Medan, Sumatera Utara.
Surabaya, 13 April 2012Eko Prasetyo