Intelektualitas Kartini

Bookmark and Share


Membaca Kartini (1879-1904) tak selesai hanya membaca sisi pemikiran radikalnya tentang perlunya progresifitas peran perempuan. Buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (1938), yang saya punya dan saya baca, perempuan bukan satu-satunya yang ditulis oleh Kartini walau boleh dikatakan sebagai menu utama yang disajikan secara kritis, rasional, argumentatif dan penuh hasrat perubahan. Bagi saya, Kartini bukan sekadar seorang pejuang perempuan. Ia adalah pemikir yang brilian, terlepas dari orisinalitas surat-suratnya, yang oleh beberapa kalangan, dipertanyakan.

Putri dari Bupati Jepara R.M Adidapi Sosroningrat itu hidup dalam lingkungan keluarga bangsawan yang suka inovasi kemajuan, walaupun dalam beberapa kasus masih menunjukkan tradisonalitasnya –dalam arti leksikal: tak ingin ada perubahan, seperti tradisi memingit anak perempuan. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro yang pernah jadi Bupati Demak, juga terkenal sejak kala sebagai intelektual yang suka perubahan dan kemajuan. Begitu pun Kartini, kata kemajuan, dalam lembaran-lembaran surat-nya begitu banyak bertebaran di sana-sini.

Ada hasrat ingin melakukan sesuatu yang amat besar dalam gagasan-gagasan yang dilontarkan Kartini dalam buku kumpulan suratnya itu. Kartini, dengan demkian bukan hanya seorang yang suka omong kosong, dia adalah intelektual yang punya cara radikal mengungkapkan kegelisahan hati dan pikiran. Dan, hingga saat ini, menurut saya masih layak dikontekstualisasikan sebagai analisis problem sosial kekinian.

Dalam kritik agama misalnya, ketika pada masanya sedang terjadi gerakan pemurnian akidah di pelbagai negara, dia justru melakukan kritik tajam di luar batas zamannya, yang masih diliputi tradisionalisme akut dan beragama tanpa kritik. Kartini gelisah akan kehadiran agama, antara ia sebagai pembawa perdamaian dan pembawa petaka. “Agama harus menjaga kita kita dari perbuatan dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama,” tulis Kartini dalam surat yang ditujukan kepada Nona Zeehendelaar 19 Agustus 1899, ketika usianya setara usia mahasiswi, 20 tahun.

Kegelisahan Kartini remaja ini masih sahih dijadikan dalil untuk mengutuk mereka yang menggunakan kekerasan dan bahkan pembunuhan atas nama agama, yakni terorisme, seperti terekam ingatan kita akan hal itu dalam kejadian mutakhir Bom Jum’at (15/04) di Cirebon itu. Tindakan teror atas nama agama, dalam pandangan Kartini menjadikan agama tidak bisa menjaga kita dari perbuatan dosa, justru malah berbuat dosa. Ini adalah sebuah pemikiran progresif yang melampaui zaman dimana Kartini hidup.

Aku Mau
Pada masa itu, istilah modernisme belum banyak dikenal. Kartini, dalam surat-surat curhatnya yang kritis, lebih sering mengunakan sebutan “Zaman Baru”. Dia terkesima dengan warna peradaban baru dari Eropa yang dibawa Belanda ke masyarakat Bumiputra (Jawa-Indonesia). Dia tidak menampik zaman baru itu layak untuk diterapkan dalam masyarakatnya. Kartini sempat menyebut peradaban Eropa lebih tinggi dengan argumentasi sahnya kita meniru peradaban yang lebih tinggi.

“Pikiran saya, suka meniru itu tabiat manusia. Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula –ialah orang Eropah.”(hlm.40). Memikirkan sesuatu hingga level peradaban bagi saya bukan setiap orang tertarik dan mampu. Ini tipikal intelektual yang tak mau tekungkung hanya pada satu persoalan hidup semata. Karena dalam peradaban, zaman baru selalu bergairah ditemukan, dan bukan hanya soal perempuan semata, walau hal itu tetap penting dikontekstualisasikan.

Ironisnya, kini, orang seperti Kartini amat jarang ditemukan. Apalagi yang masih berusia remaja. Remaja di masa “modernisme akut” sekarang, yang ditandai dengan banalitas meraih kesenangan biologis nan sensual, efisiensi tanpa makna dan efektivitas nihil spiritualitas, telah kehilangan jiwa kritik intelektualnya. Kita bisa melihat remaja seusia Kartini menulis surat itu lebih banyak melakukan kenakalan kontemporer (dalam bentuk seks luar nikah dan kriminalitas). Kenakalan remaja (baik putri maupun putra) kini bukan dalam bentuk tawuran dan membandel saja.

Dalam bahasa Kartini, remaja sekarang kehilangan daya hidup yang disebutnya “aku mau”. Semboyan Kartini itu tiada mudah ditemukan dalam situasi bangsa hingga saat ini. Remaja, dalam identifikasi James Siagel telah kehilangan “kepemudaannya”, yang kritis dan bermartabat. Padahal di sana kita bisa melenyapkan duri “aku tiada dapat,” seperti dilukiskan oleh Kartini dalam surat kepada Stella, 12 Januari 1900.

Bangsawan Tanpa Nalar
Daya hidup membangun peradaban bukan pada pesimisme, namun dalam optimism menempuh zaman baru, “aku mau”. Itulah iradah kuasa manusia. Usaha manusia yakin akan berhasil mencapai tujuan bila tetap berada dalam bara api peradaban. Kartini mengkritik: “Alangkah banyaknya tenaga, yang sekiranya boleh berguna dan membangun rahmat bagi tanah dan bangsa, tinggal tiada terpakai, oleh karena orang yang empunya tenaga itu, oleh karena congkak dan angkuhnya tiada sudi mempergunakannya.” (Awal Tahun 1990)

Kini, keterangan Kartini bukan hanya dibenarkan, namun justru mendapatkan kebenarannya sendiri, bahwa bangsa kita teertatih-tatih meniti peradaban bukan hanya karena orang-orangnya malas tak mau memanfaatkan sumber daya alam, namun juga merusak secara sadar tanpa mempertimbangkan akibatnya di kemudian hari, dengan korupsi jama’ah, pemanfaatan kekuasaan lebih besar dan perbuatan congkak lainya. Para bangsawan kita (kaum elite), dalam bahasa Kartini tidak disebut sebagai bangsawan pikiran dan bangsawan budi, apalagi intelektual. Perlukah Kartini dibangunkan dari kuburnya?

M Abdullah Badri