Tumpukan lembaran-lembaran kertas tua hingga yang masih gress berserakan begitu
saja di tiap-tiap sudut kamar. Huruf pegon, Satera Jontal, hingga yang
berbahasa Belanda dan Inggris semakin menambah bumbu berantakannya
kamar yang baru saja 6 bulan ini menemaniku bersama menyambut pagi. Aku
sendiri tak mempunyai motif tertentu, kenapa masih saja kertas-kertas
itu harus kubuka dan ku baca tiap hari. Entah apa sebenarnya yang
kucari, tapi jelas sekali aku menangkap, motif apa yang kutemukan.
Motif yang sebenarnya membuatku malu menerima realitas yang membuatku
harus mengakui bahwa aku memang dilahirkan di tana Samawa, dan aku tau
Samawa. Motif yang juga sering sekali membuat ku senyum cengengesan
mengakui dan di buat merasa bangga mengakui ke-diri-an ku, walau itu
bukan dalam hal-hal yang kwalitatif. Namun motif yang paling jelas
polanya adalah kusut, kusam, dan buramnya sejarah itu sendiri, tak ubah
seperti kusamnya lembaran-lembaran tua yang ku kumpulkan dengan begitu
sulitnya, karena lembaran yang sesungguhnya menceritrakan tentang
keterbentukan karakter kita tau samawa lewat rekaman-rekaman dialektika
sejarah, pengetahuan dan realitas masyarakat kita selama ini, ternyata
dijadikan azimat yang keramat oleh beberapa orang.
Keterbentukan diri dan ke-diri-an bukanlah suatu hal yang berjalan secara almiah dan
evolutif. Keterlibatan manusia sebagai subjek dari sejarah itu sendiri,
tentunya dengan sendirinya membongkar mitos evolusi sejarah, yang
sering dijadikan alat legitimasi oleh kaum kafir penjajah, dan membuat
kita mau tidak mau harus menerima karakter mental budaya lokal yang
memang pantas mejadi budak, masyarakat kelas rendahan dan loronzovos.
Setidaknya itulah pesan-pesan historiografi yang terpintal dibalik
teks-teks laporan gubernuran Belanda tentang situasi sosiologis dan
antropologis tau samawa. Inilah realitas ke-dua dari sejarah, setelah
realitas sebenarnya. Realitas berbentuk teks-teks yang seakan-akan
otentik sejarah namun penuh dengan social enggenering. Sejarah diracik dengan begitu indahnya hingga memasuki (inner world) relung terdalam dari inti kesadaran masyarakat,
sehingga tiada ruang untuk membantah bahwa memang itulah diri dan ke-diri-an kita sebenarnya,
sebagaimana yang dicerminkan oleh sejarah. Sejarah yang membuat kita
harus mengakui ketertundukan, keterbodohan, dan ketakberdayaan kita
dalam menerima realitas ke-diri-an kita sendiri. Realitas ke-tiga dari
sejarah kita adalah ketika kita yang sedang berada di perempatan kiri
jalan ini, diusik oleh rasa ingin tahu tentang ke-diri-an kita sendiri.
Lalu bergerak dan mencari lewat lembaran lembaran yang sudah kadung
terlebih dahulu mendapat identitas teks sejarah, menulisnya kembali
untuk dibaca anak cucu lewat kurikulum dan lembaran-lembaran buku baru,
hingga….. budaya pembodohan, pengasingan dan pengungsian realitas
sebenarnya dari sejarah, membentuk rantai makanan yang begitu kuat.
Distorsi sejarah semakin menemukan bentuknya.
Mungkin terlalu berspekulasi, bahwa paradigma dan lebih jauh lagi budaya dan prilaku
masyarakat kita hari ini terbentuk oleh dekonstruksi yang dibentuk oleh
teks-teks sejarah sebagaimana tersebut di atas. Kita paham tidak semua
masyarakat mampu mengakses dan berminat menelusuri sejarah. Dan juga
sadar akan teks-teks tentang perjalanan sejarah kita sangat minim,
tidak seperti Jawa. Sehingga dapat dikatakan tidak ada korelasi yang
positif antara bangunan karakter mental masyarakat kita dengan
motif-motif politik yang dibentuk akibat mengakses teks-teks social enggenering sejarah.
Namun ada satu hal yang harus dipahami oleh pemerhati sejarah dan siapapun yang memiliki
sense of belonging atas masyarakat kita tau samawa. Bahwa operasi pengasingan kesadaran
melalui rekayasa social distorsi sejarah, dengan pembangunan paradigma
pengetahuan adalah satu hal, namun di sisi lain operasi pengungsian
kesadaran sejarah masyarakat kita terjadi tidak hanya melalui teks-teks
kusam tersebut, melainkan melaui apapun yang kita lihat di sekitar
kita. Masyarakat kita sesungguhnya sedang di kepung oleh budaya ketidak
sadaran. Bahkan hingga pada realitas diri sendiri pun ketika di
pandang, hanya akan memberi sugesti negative yang berlanjut mengendap
pada rekaman alam bawah sadar, yang memuluskan proses distorsi
kesadaran sebagaimana yang diciptakan melalui teks-teks sejarah.
Apa yang terjadi….
Hari ini kita dipaksa untuk menerima ke-diri-an kita yang sebagaimana
para pembaca lihat sendiri dalam susunan pola tatanan social masyarakat
kita. Mau tidak mau kita hanya memiliki satu cermin untuk mencari
cerminan diri, kemana lagi kalau bukan masyarakat kita sendiri. Padahal
bayangan yang ditimbulkan oleh cermin itu tak sepenuhnya menunjukkan
tentang ke-diri-an kita. Kita tak berani mengatakan jujur pada cermin
tersebut bahwa bayangan yang ada di dalam cermin itu bukan kita. Tapi
kita tetap saja bergaya dan bersolek seakan-akan itu memang benar kita.
Hidup dalam kebohongan…….