Antara Soeharto, Mahathir, dan Lee Kuan Yew

Bookmark and Share


Ketika Soeharto digulingkan pada tahun 1998, orang yang pertama kali bersimpati adalah Lee Kuan Yew (PM Singapura pertama). Dia sempat mengatakan bahwa kesalahan soeharto karena ia tidak mempersiapkan putranya untuk menjadi penerusnya. Bukan rahasia lagi jika Lee Kuan Yew merupakan sahabat akrab Soeharto. Bahkan ia mengakui telah belajar banyak mengenai pemerintahan dari presiden Indonesia kedua tersebut.

Sama-sama dilahirkan pada tahun 20′an– hanya saja Lee Kuan Yew lebih muda 2 tahun. Soeharto dan Lee Kuan Yew berhasil menancapkan kekuasaannya dengan proses yang hampir sama. Soeharto naik tahta ketika berhasil menumpaskan “pemberontakan” PKI tahun 1965. Begitupun Lee Kuan Yew berhasil mengukuhkan kekuasaannya saat partainya PAP (People’s Action Party) mengadakan huru-hara terhadap pemerintah pusat (yang saat itu masih dikuasai Malaysia).

Kerusuhan dan kekacauan yang dibuatnya menyebabkan Malaysia melepaskan Singapura dari bagian kedaulatannya pada tahun 1965. Mulai saat itu Singapura berdiri sebagai negara merdeka dengan pemimpinnya Lee Kuan Yew. Pola pemerintahan Lee Kuan Yew dan Soeharto tidak jauh beda, sama-sama “otoriter”. Mereka berpedoman bahwa jika negara ingin maju maka kekuasaan harus mutlak dikuasai satu orang. Untuk merealisasikan hal tersebut yang pertama dilakukan adalah membersihkan negara dari para penentang dan lawan politik yang tidak sepaham. Bahkan kalau perlu penjarakan mereka agar tidak membuat onar.

Kemudian mengendalikan semua aset negara dalam satu tangan. Kedua tokoh ini percaya bahwa kemajuan akan tercipta jika keamanan terjaga, dan rakyat ada dalam kendali mereka. Untuk mengendalikan rakyat hanya satu cara yaitu kenyangkan perut mereka. Karena ketika perut seseorang kanyang, maka otomatis mulutnya pun akan diam.

Jadi tidak salah jika pada masa kepemimpinan Soeharto, dan Lee Kuan Yew, negara mereka dibawa kepada perubahan dan kemajuan yang sangat signifikan. Soeharto dan Lee KuanYew pun seakan tidak bisa tergantikan. Kepemimpinan mereka berdua pun bertahan hingga puluhan tahun lamanya. Hanya saja Lee Kuan Yew sedikit lebih cerdik dibandingkan Soeharto. Ia jauh-jauh hari sudah mempersiapkan seorang “Putra Mahkota” untuk menggantikannya. Oleh karena itu untuk memuluskan langkah tersebut, ia menyerahkan kepemimpinannya kepada orang kepercayaannya, Goh Chok Tong. Sementara ia sendiri membuat sebuah jabatan baru yaitu Menteri Senior. Jadi meski pemerintahan dipagang orang kepercayaannya, namun kekuasaan negara masih dibawa kendalinya.

Seakan mengerti maksud dari Lee Kuan Yew, maka ketika putra mahkota Singapura sudah dirasa cukup mampu memimpin negara, Goh Chok Tong pun menyerahkan jabatannya kepada putra mahkota tersebut yaitu Lee Hsien Loong untuk menjadi perdana menteri ketiga. Hal itu yang tidak bisa dilakukan Soeharto. Bahkan setelah kewafatan istrinya, Soeharto seakan tidak mempunyai kendali sama sekali. Ia terlalu nurut apa kata orang-orang disekitarnya. Anak-anaknya pun terlalu terlena dengan kemudahan fsilitas yang dimiliki mereka.

Sehingga ketika ia memutuskan untuk tidak mencalonkan diri menjadi presiden, para pembantunya memaksanya untuk tetap mencalonkan. Akhirnya tragedi 1998 pun meledak dengan digulingkannya ia secara tidak hormat. Berbagai kecaman dan sumpah serapah dari rakyat pun berhamburan. Gelar bapak pembangunan yang dahulu dieluk-elukan, secara drastis berubah menjadi gelar menjadi bapak koruptor. Semua yang berbau Soeharto seakan nista dan haram untuk digunakan. Sejarah tentang perjuangannya membangun bangsa pun hilang, terhapus dengan slogan-slogan “Adili Soeharto, Penjarakan Soeharto” dan “Gantung Soeharto”. Pendeknya hingga akhir hayatnya pun, rakyatnya tetap menghendaki Soeharto di penjara.

Jatuhnya Soeharto seakan menjadi pelajaran berharga bagi PM Malaysia kala itu, Mahathir Muhammad. Banyak rakyatnya juga yang tidak suka dengan cara memimpinnya yang otoriter. Salah satunya Wakil PM Anwar Ibrahim yang kemudian dipenjarakan dengan kasus yang seakan direkaya. Mahathir paham betul bagaimana cara membunuh para oposisi. Oleh karena itu, sebagaimana Soeharto yang mengendalikan Golkar sebagai senjatanya, begitupun Mahathir dengan UMNO-nya yang sangat berkuasa. Mahathir yang saat itu namanya sedang naik daun lebih memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai PM Malaysia, karena khawatir kehidupannya akan sama seperti Soeharto.

Mahathir, Soeharto dan Lee Kuan Yew adalah tiga pemimpin negara yang berhasil membawa bangsa mereka ke taraf kemajuan yang lebih baik. Cara memimpin ketiganya juga sama. Soeharto mengendalikan semua elemen penting negara dalam satu tangan, begitupun dengan Lee Kuan Yew. Hampir semua perusahaan penting Singapura adalah milik keluarganya.

Lee Kuan Yew sangat tidak suka dengan demokrasi ala Indonesia, baginya sistem pemerintahan konvensional (otoriter) namun mambawa kemajuan bagi negara jauh lebih baik dibandingkan sebuah demokrasi tapi membawa negara kepada kemunduran. Oleh karena itu hingga sekarang kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat di Singapura sangat minim, bahkan boleh dibilang tidak ada. Bagi Lee Kuan Yew, selama negara masih menjamin ketersediaan pangan, papan dan pakaian kepada rakyatnya, maka selama itu juga rakyat harus taat pada pemerintah. Tidak ada hak bagi rakyat untuk bersuara kepada pemerintah selama mereka dicukupi semua kebutuhannya.

Ia pun dengan lantang berkomentar saat terjadi demonstrasi 200 ribu mahasiswa anti pemerintah di lapangan Tian Men,China. Katanya bahwa ” Bila untuk menyelamatkan china 100 tahun kedepan adalah dengan menembak mati 200 ribu mahasiswa, maka pasti akan saya lakukan”.

Raka Soebardo