Nisan Bertuliskan Kalimat Syahadat: Saksi Bisu Peradaban Masalalu

Bookmark and Share






NISAN yang diperkirakan berasal dari abad ke 13 dan 14 Masehi itu berserak tak beraturan. Terletak begitu saja di belakang rumah penduduk, berdekatan dengan kandang ayam, di antara pagar-pagar kayu rumah warga.


Kemarin, Sabtu, 26 Mei 2012, The Atjeh Post ikut dalam tim Masyarakat Peduli Sejarah (Mapesa) untuk meneliti nisan-nisan tak bertuan tersebut. Beberapa gambar pun diambil sebagai dokumentasi tim.



Nisan bersejarah itu terletak di Gampong Ie Masen, Kayee Adang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Letaknya tidak terlalu jauh dari jalan kampong sebelum nisan-nisan itu dibongkar untuk perluasan jalan.



Mawardi Usman, Ketua Mapesa mengatakan bahwa di Gampong Ie Masen terdapat beberapa kuburan peninggalan abad ke 13 dan 14 Masehi yang diperkirakan berasal dari Kerajaan Samudera Pasai.




“Dugaan itu berasal dari referensi arkeologi yang ditulis oleh Arkeolog dari UGM yaitu Dede Satria, beliau mengatakan bahwa nisan-nisan ini berasal dari Kerajaan Samudera Pasai,” kata Mawardi kepada The Atjeh Post.



Namun setelah tim dari Mapesa melihat sendiri bentuk dan jenisnya, mereka menilai nisan tersebut berasal dari peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam.



“Bentuk nisan peninggalan Kerajaan Samudera Pasai lebih kasar ketimbang peninggalan Aceh Darussalam, yang ada di Ie Masen ini adalah peninggalan Kerajaan Aceh Darussalam,”



Pantauan The Atjeh Post, di lokasi tersebut ada sekitar 15 nisan yang berkuran sekitar 50 centimeter. Dan tidak memiliki identitas apapun sehingga terkesan tidak bertuan.




Hal yang sama juga diungkapkan oleh warga setempat, Anwar, pria 62 tahun ini mengatakan bahwa ia tidak tahu menahu perihal nisan tersebut. Sebab, katanya sejak ia lahir nisan itu sudah ada.



Warga lainnya, Nur Saadah, perempuan berusia 50 tahun yang juga penduduk asli Ie Masen mengatakan bahwa seumur hidupnya ia tidak mendapatkan informasi mengenai keberadaan nisan tersebut.



“Meskipun saya keturunan dari bangsawan Pang Raid tetapi saya tidak tahu siapa pemilik nisan-nisan tua ini,” katanya.






Mawardi Usman sebagai pelaku sejarah muda Aceh sangat menyayangkan kondisi ini. Kepada masyarakat sekitar ia menjelaskan bahwa di batu nisan tersebut terdapat dua kalimat syahadat.



“Beberapa warga terlihat kaget tetapi tidak ada tindakan apapun, ini sama saja dengan membiarkan sejarah itu sendiri, jangan-jangan memang tidak mau tahu, ini jelas sangat berbahaya,”



Selain di Ie Masen, cagar budaya berupa batu nisan juga banyak terdapat di Gampong Pande, Kecamatan Kuta Raja. Di sana situs sejarah juga banyak terbengkalai.



“Ini menjadi bukti lain bahwa perhatian masyarakat untuk menjaga nilai-nilai sejarah sangat kurang, padahal jauh sebelum adanya Kerajaan Iskandar Muda kerajaan islam lainnya sudah lebih dulu ada di Aceh, yang membawa kejayaan Aceh di masanya,” tambah Haikal, anggota Mapesa yang lain.




Haikal Afifa tak lain adalah Direktur di LSM The Atjeh Ethnic Institute. Ia berharap agar pemerintah senantiasa bisa menjaga benda-benda cagar budaya. Apalagi menurut Haikal, Aceh adalah salah satu pusat sejarah islam.



“Mulai dari Samudera Pasai hingga ke Semenanjung Malaka, untuk itu, Aceh bisa jadi pusat studi dan bukan tidak mungkin bisa menjadi laboraturium sejarah peradaban yang bisa menambah nilai jual bagi Aceh ke dunia luar,” kata Haikal.


Bagi dinas-dinas terkait seperti Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakalai Wilayah Aceh dan Sumatera Utara, kata Haikal bisa betul-betul serius dalam menjaga asset tersebut.

Begitu juga dengan dinas lainnya seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh.[]

ATP