Indonesia Minus Historiografi, Berkaca Pada Peter Carey dan Remy Sylado

Bookmark and Share


Dalam metodologi penelitian, kita sering mendengar metode historis dengan langkah-langkah menggambarkan permasalahan atau pertanyaan untuk diselidiki, mencari sumber fakta historis, meringkas dan mengevaluasi sumber-sumber historis, dan menyajikan fakta-fakta yang bersangkutan dalam kerangka interpretatif. Sepintas, nampaknya begitu mudah untuk mengadakan penelitian historis tersebut, namun dalam praktiknya tidak semudah yang kita bayangkan.

Historiografi merupakan langkah akhir yang ditempuh oleh peneliti sejarah dalam metode penelitian sejarah (heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi). Secara umum, historiografi sebagai sebuah ilmu berbicara mengenai proses penulisan suatu peristiwa sejarah di masa lampau. Dalam hal ini, jelas bahwa untuk melakukan penelitian dan penulisan sejarah dituntut berbagai keterampilan tertentu.

Rabu (25/4) pukul 09.00 – 13.00 WIB, riuh tepuk tangan peserta bedah buku Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 bergemuruh di gedung Bale Santika Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang menyambut kedatangan penulisnya Peter Carey, sejarawan asal University of Oxford. Peter Carey berdampingan dengan Remy Sylado berkisah dan berdialog dengan para mahasiswa, dosen, dan masyarakat umum perihal soal-soal sensitif sejarah Indonesia (terutama) mengenai sosok Pangeran Diponegoro dalam kapasitas mereka (Peter dan Remy) masing-masing. Acara yang terselenggara atas kerjasama Penerbit KPG, Himpunan Mahasiswa Sejarah Universitas Padjadjaran (Himse), Layar Kita, dan (Perpustakaan) Batu Api ini dipandu oleh bang Tobing dengan tajuk “Penulis Terbesar Inggris Mengenai Indonesia Singgah di Jatinangor”.

Dari kacamata apa yang Peter lakukan, sebagaimana Remy sampaikan, historiografi di Indonesia masih belum berkembang. Hal ini tidak lepas dari budaya kita adalah budaya bicara, atau budaya cangkem. Kebiasaan bangsa Indonesia menyampaikan informasi sejarah secara lisan belum dibarengi dengan kebiasaan penyampaian secara tulisan. Hingga saat ini belum ada orang Indonesia yang menulis historiografi. Orang Indonesia yang menulis sejarah biasanya mengutip sumber yang ditulis oleh orang asing, padahal penulisan sejarah oleh orang asing tidak lepas dari kepentingan asing pada masanya. Remy menambahkan studi sejarah kita belum benar-benar memberi pencerahan kepada pembacanya dengan sudut pandang lain karena masih memakai hasil tulisan orang lain dan belum merujuk pada sumber-sumber atau dokumen langsung yang ada di berbagai tempat.

Dari apa yang diutarakan pada pagi itu, mendongkel dan mencari jawaban atas pertanyaan: Apakah benar Indonesia minus historiografi? Bagaimana mengetahui bahwa sejarah yang ditulis itu betul? Merujuk pada penulisan buku Kuasa Ramalan, buku yang ditulis Peter selama empat puluh tahun itu, bukan memakai hasil tulisan orang lain tapi merujuk pada sumber-sumber atau dokumen langsung yang ada di berbagai tempat, studi sejarah kita belum sampai ke situ. Catatan-catatan kaki yang dapat dipertanggungjawabkan akan disertakan jika memang menulis sejarah secara betul.

Remy menekankan pentingnya mempelajari dokumen sejarah yang tidak hanya sangat berharga, tetapi juga sebagai panduan atau bekal menapaki masa depan serta kemampuan menulis terkait proses penulisan suatu peristiwa sejarah di masa lampau. Sejarah itu berpihak. Kalau tidak benar maka akan menjadi his story bukan history.

Menurut Peter, sekitar 200 tahun lalu, ada perampasan yang dilakukan oleh bangsa Inggris di Keraton Yogyakarta. Berbagai dokumen berupa naskah dibawa lari. Peter mengungkapkan, penulisan buku Kuasa Ramalan, yang terdiri dari tiga buku itu, merupakan sebuah upaya balas budi. Peter mengharapkan adanya penelitian-penelitian lanjutan yang lebih terperinci tentang berbagai hal yang belum termuat dalam bukunya.

“Warisan, gagasan, dan kebudayaan Indonesia sangat luar biasa harus dilestarikan, dijunjung, dan dimengerti,” kata Peter.

Apakah Indonesia minus historiografi? Buku Kuasa Ramalan, karya Peter, kita harapkan mampu mengispirasi para sejarahwan di Indonesia untuk membangun historiografi yang berbeda sudut pandang dengan yang selama ini dibuat oleh orang asing tentang Indonesia. Semoga…

Eduard Tambunan